Translate

Rabu, 29 Agustus 2012

saber stelah perang suci selesai

Fate/arturia's hope (Indonesian)

Novel ini ditulis dalam dua bahasa:
(Catatan : Proses penerjemahan bervariasi untuk setiap versi.)
Fate/arturia's hope (English) adalah penerjemahan yang dilakukan oleh Ignatius Edwin sendiri. Untuk pertanyaan mengenai penerjemahan ke bahasa Inggris (atau bahasa lainnya) silakan menghubungi Ignatius Edwin (username shinjeon9) di Forum Beast's Lair dan post di thread Fate/arturia's hope (di dalam main thread Type-Moon Fanworks).

Contents

[show]

SinopsisEdit

Saber, setelah berbincang dengan Merlin, penyihirnya yang dipercayainya, akhirnya berhasil kembali ke masa kini (waktu Shiro Emiya masih hidup). Tetapi setelah harapannya itu terkabul untuk kembali ke masa kini, Shiro malah menghilang. Petunjuknya hanya Rin Tohsaka, teman Shiro, yang juga seorang Magi, untuk menemukan di mana Shiro.

PenerjemahanEdit

RegistrasiEdit

Siapa saja yang ingin berkontribusi dapat mengirim email ke mailto:i_edw@in.com, karena para penerjemah akan ditanyakan mengenai chapter yang akan diterjemahkan.

Standar FormatEdit

(Belum sampai pada tahap final dan masih dirundingkan)

PembaharuanEdit

  • 09.09.28 : Act One : Part 1
  • 09.09.26 : Prologue : Part 4
  • 09.07.22 : Prologue : Part 3
  • 09.06.22 : Prologue : Part 2
  • 09.06.21 : Prologue : Part 1

Fate/arturia's hope by Ignatius EdwinEdit

PrologueEdit

1 - Fate route endingEdit

“Shirou, aku mencintaimu.”
Itulah perkataan terakhir yang dikatakan Saber kepada Shiro Emiya tepat sebelum dia menghilang. Shiro telah berhasil meyakinkan Saber bahwa dia memang mencintainya. Cinta itu tidak akan bergoyang menghadapi perubahan zaman, meskipun, suaranya, perilakunya, akan menghilang seiring berjalannya waktu.
Kembali ke masa sekarang.
Shiro Emiya telah menghadapi kehidupan normal seperti biasanya dan bukan sebagai seorang penyihir lagi, sejak Heaven’s Feel sudah selesai. Rin Tohsaka juga kembali mengalami kehidupan normal dengan Shiro.
Sementara itu, Saber, setelah Heaven’s Feel selesai, kembali ke asal dimana waktu dia berada setelah perperangan besar dan dibaringkan oleh Bedivere, menyandarkannya pada sebuah pohon. Saber berucap kata-kata terakhirnya saat itu.
“Kembalikan pedang Excalibur darimana tempatnya berasal.”
Bedivere, setelah ketiga kalinya Saber berbicara, benar-benar melemparkan pedang tersebut ke Lady of The Lake, danau dimana pedang Excalibur itu berasal. Dia kembali kepada Saber dan melihat Saber sudah menutup matanya dan Bedivere berbicara untuk yang terakhir kalinya.
“Apakah kau sekarang melihat kelanjutan mimpimu, Raja Arthur?” … 1 day after.
Saber’s Side Story
“Arturia.” … “Arturia.” … “Arturia!”
Aku terbangun segera mendengar perkataan itu. Mataku terbuka dan yang kulihat, walaupun samar-samar, adalah sekarang aku berada di semua rumah kayu kecil. Aku melihat diriku. Tanganku. Bajuku. Semuanya kembali normal. Kuharap ini bukan mimpi. Aku sudah hampir mati tadi.
Pedang Excalibur sudah kukembalikan ke danau peri tempatnya berasal, dan aku masih ingat benar-benar ketika terakhir kalinya aku bertemu dengan Shiro dan mengatakan kata-kata terakhirku kepadanya.
Aku berdiri, walaupun masih lemah dan melihat ke kanan, melihat seorang kakek tua dengan memegang tongkat besar di tangan kirinya, duduk di kursi kayu yang rusak digigiti rayap. Aku melangkahkan diriku kepadanya, tetapi tubuhku memaksaku untuk tidak berjalan. Akhirnya aku terjatuh dan tersungkur di lantai. Tidak terasa sakit.
Kakek tua itu segera berdiri dan mengangkat tubuhku ke tempat tidurku tadi.
“Arturia. Jangan memaksakan tubuhmu. Tubuhmu masih lemah. Kau masih beruntung bisa diselamatkan dari kematian.”
Mataku mulai jelas melihat. Kakek tua itu ternyata Merlin, penyihir kepercayaanku. Dia yang ternyata membawaku ke sini setelah terakhir kali aku bertemu Bedivere di hutan.
“Ini mimpi?” tanyaku. “Bila kau mengenaliku, tentu saja kau tidak bermimpi, Arturia,” balasnya.
Aku masih tidak percaya. Aku benar-benar terselamatkan.
“Merlin, dari mana saja kau selama ini?” tanyaku. Merlin tampak diam dan tidak mau menjawab pertanyaanku itu, tapi dia menjawabku dengan perkataan lain.
“Aku tahu apa yang kau inginkan, Arturia.”
Aku mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Kata-kata terakhirku kepada Shiro. Apa saja yang kami telah lalui bersama. Aku ingin kembali mendengar suaranya. Aku ingin melihatnya kembali. Walaupun aku harus tetap melanjuti tidur yang tidak akan selesai ini.
“Apa yang kau inginkan, Arturia, itu sulit diwujudkan. Waktumu dengannya sangat jauh dan jaraknya bisa membuat orang berputus asa.”
Merlin mengatakannya. Kenyataan untuk membuat mimpi itu sangat tidak dimungkinkan.
“Apabila kau ingin bertemu kembali dengannya sebagai orang normal, dua keajaiban harus terjadi. Salah seorang harus menunggu secara terus-menerus, dan salah seorang harus mengejar tanpa henti. Mereka harus menyadari bahwa tidak mungkin untuk melakukan hal tersebut. Apakah itu…sebuah cerita tentang mimpi yang hanya bisa ditunggu?”
Apakah perjalananku harus berakhir di sini akibat itu? Kurasa tidak. Hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugasku sebagai Raja untuk mewujudkan hal tersebut atau hanya menunggu hal tersebut untuk terwujud.
“Jalan terbaik adalah kau harus tetap berada pada jalan pikiranmu sekarang. Aku menghargaimu, sebagai seorang perempuan yang mempunyai hak untuk kebahagiaanmu bertahan. Sebuah pengorbanan seperti ini, seharusnya kau mengerti.” “Apakah tidak ada jalan lain, Merlin?” tanyaku kepadanya.
Merlin tampak diam. Paradoks waktu tampaknya tidak dapat dilalui oleh seorang Penyihir. “Arturia, kau harus mengerti. Sebuah keajaiban dengan melibatkan waktu sungguh sulit untuk diwujudkan.”
Harapanku sudah habis. Merlin tidak dapat membantuku lagi. Sudah saatnya aku kembali ke Lady of The Lake.
“Arturia…” katanya. “Apa?” tanyaku. “Aku senang, kau masih tetap keras kepala seperti kau yang dahulu. Itulah yang membuatmu tetap bertahan hidup sekarang.”
Baiklah. Kenyataan harus tetap berlanjut. Sudah tidak ada gunanya aku hidup di sini. Masa sebagai Raja bagiku sudah berakhir dan aku tidak dapat kembali ke waktu dimana Shiro berada.
“Merlin, dapatkah kau membawaku ke danau dimana Excalibur berasal?” tanyaku. “Untuk apa kau ke sana?” tanyanya. “Bawa saja aku ke sana,” kataku kemudian, sambil meyakini peri di sana akan membantuku untuk mencapai kematian yang tenang.

2 - The Hope is YoursEdit

“Lady of The Lake“, begitulah danau itu disebut, memang bukan danau biasa. Danau itu adalah danau ajaib, di dalamnya berada peri-peri yang memberikan pedang Excalibur kepadaku, sampai aku menyelesaikan pertempuran terakhirku dan berakhir di sini.
Hari ini aku akan mengakhiri hidupku di situ, mengharap para peri itu akan membantuku untuk mati lebih cepat. Aku tidak ingin mati lama-lama. Tidak ada artinya lagi aku hidup sebagai raja Inggris. Walaupun aku tahu, setelah perbincanganku dengan Shiro, aku harus tetap melanjutkan hidupku karena semua yang telah aku dilakukan tidak akan kembali lagi dan tidak dapat diulang lagi, bahkan dengan Cawan Suci sekalipun.
“Arturia,” kata Merlin sambil memegang pundakku.
Dari tempat tidurku aku langsung duduk dan tidak merebahkan diriku lagi, menatap Merlin dengan serius.
“Apakah kau yakin dengan tindakanmu itu?” tanya Merlin lagi.
Sudah tidak ada pilihan lagi. Aku tidak dapat hidup lagi sebagai orang normal. Aku tidak dapat lagi bertahan hidup sebagai manusia.
“Ingatlah, Arturia. Apabila kau melakukan hal ini, kau tidak akan kembali ke Avalon untuk kedua kalinya.”
Aku sudah tidak takut lagi akan kematian.
Aku berdiri di depan Merlin, menatap matanya dengan serius, dan berkata, “Kita pergi sekarang.”

Jarak antara gubuk Merlin dengan danau Lady of The Lake ternyata tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga menit saja. Setelah sampai di situ, aku menatap danau itu dalam-dalam. Menatap saja. Memikirkan apa yang sudah kuperbuat.
Aku telah berperang terus-menerus. Mengorbankan orang-orangku. Rakyat sudah tidak puas dengan tindakanku itu walaupun aku menang. Rakyat merasa aku sudah tidak dibutuhkan lagi di tanduk kekuasaan. Rakyat sudah membuangku. Mereka tidak akan menghargaiku lagi. Pertempuran terakhir yang membuat banyak orang meninggal dan menjadi korban atas tindakanku sudah menjadi pemandanganku atas dunia, yang terakhir.
Aku kembali mengingat ke masa depan, dimana aku bertemu dengan Shiro. Dialah yang mengajarkanku untuk memperbaiki semua apa yang telah kulakukan. Apapun yang telah kulakukan di masa lalu biarlah berlalu, dan ‘kau tetap harus menghadapi masa depan yang ada.’ Dan masa depanku disini adalah mendekati kematian. Kehidupan yang dibawa Merlin ini adalah sementara. Semua manusia pada akhirnya pasti akan mati. Saatku sudah datang dan tidak dapat ditolak lagi.
Sementara aku menatap dalam-dalam danau itu, dari kananku, para peri keluar dari danau itu dan berbisik di telingaku dengan lembut.
“Arturia. Kami mau berbicara denganmu sebentar.”
Aku dan Merlin mendengarnya dengan jelas, ditandai dengan Merlin menganggukkan kepalanya tiga kali kepadaku saat aku melihat ke kiri. Aku meminggir sebentar dari danau dan mendekati para peri yang ternyata sudah berkumpul di belakangku.
“Kau sudah mengembalikan pedang yang kami berikan padamu,” kata peri-peri itu secara serentak, lanjutnya, “Sekarang kau sudah boleh pergi sekarang.”
Aku tidak tahu maksudnya.
“Kau tidak boleh mati, Arturia, kau masih memegang kekuasaan sebagai raja semua tanah Inggris. Pedang Caliburn telah memilihmu sebagai raja. Sebaiknya kau pikirkan sekali lagi, Arturia.”
Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku tidak akan bisa kembali ke masa depan dimana aku bertemu dengan Shiro, dan disini aku terjebak dengan tugasku sebagai Raja. Tidak ada pemikiran lebih lanjut lagi.
“Aku sudah memikirkannya lebih lanjut,” kataku kemudian.
Para peri memasang tampak wajah sedih, menundukkan kepala. Salah satu peri masih mendongakkan kepalanya dan mendekat ke telingaku dan berbicara, “Kau bisa mati dengan tenang sekarang, Arturia. Tapi bukan di masa ini kau harus mati.”
Para peri kemudian mendongakkan kembali kepalanya di depanku dan berbicara serentak kepadaku, “Arturia, apakah kau percaya dengan kesempatan kedua?”
Kesempatan kedua?
Bagiku, sebagai raja yang telah gagal memimpin negara, gagal memimpin masyarakat, gagal atas semuanya, aku tidak berhak untuk menerima kesempatan kedua tersebut. Semua yang telah kulakukan tidak akan membuatku kembali mendapatkan kesempatan kedua. Telah banyak kesempatan yang kudapatkan, tapi tidak pernah kumanfaatkan sekalipun. Aku telah gagal.
“Sebagai orang gagal, aku tidak pantas mendapat kesempatan kedua. Aku telah gagal sebagai raja; dan sekarang saatnya untuk mengakhiri tugasku sebagai raja dengan cara yang absolut. Biarkan rakyat memilih pemimpin baru yang sesuai dengan keinginan mereka. Biarkan rakyat yang memimpin negara ini. Semuanya dari, untuk, dan oleh rakyat. Masa kerajaan sudah berakhir sampai di sini.”
Para peri tersenyum kecil kepadaku dan salah satu dari mereka berkata kepadaku, “Mari masuk ke dalam danau. Kita lihat apakah kau pantas menerima kesempatan kedua itu. Kesempatan kedua untukmu ini bukanlah diberikan dari rakyat. Kau percaya dengan kekuatan cinta, bukan, Arturia?”
Cinta.
Ya, kata itu dapat mengalahkan segalanya.
Tetapi dalam masa ini, tampaknya kata itu hanya berlaku sebagai kata usang.
Aku ini munafik, percaya tapi tidak percaya.
Para peri menuju ke dalam danau dan tampak menungguku untuk masuk ke dalam danau tersebut. Merlin menatapku lagi dari samping.
“Aku yakin kau pasti bisa, Arturia,” katanya.
Aku menganggukkan kepalaku di depannya dan melangkahkan kakiku ke dalam danau tersebut. Sedikit demi sedikit, hanya tinggal kepalaku yang tersisa. Tiba-tiba ada yang menarik kakiku ke dalam danau tersebut.
“Ugh!” teriakku. Kakiku ditarik sangat cepat sampai aku tidak dapat bernapas lagi. Mataku mulai redup, melihat sinar matahari yang juga makin kelihatan gelap di depanku. Tanganku, badanku, kepalaku, semuanya mati rasa. Tubuhku mulai lemah. Aku mulai…tidur…tidur yang panjang.



Saber’s Side Story – Unknown time.
Tanganku lemah. Mataku gelap. Badanku melayang. Kakiku mati rasa. Aku tidak dapat merasakan tubuhku lagi. Badanku tidak bereaksi sama sekali terhadap pikiranku. Semuanya terasa terlepas dari tubuhku. Yang kulihat hanya kegelapan.
Aku mengingat kembali Shiro. Dalam kegelapan itu, aku memikirkan dia. Dia tampak seperti orang yang muncul samar-samar di depanku. Aku mengingat kembali saat-saat terakhir kami dimana aku kembali ke waktuku. Waktu rasanya berjalan terlalu cepat. Tiba-tiba aku kembali ke waktuku berasal dan sekarang aku tidak tahu dimana aku berada.
“Fiuhh,” aku mulai bisa merasakan napasku. Napas kehidupan. Dan semuanya mulai tersambung ke pikiranku lagi. Aku mulai bisa merasakan tanganku. Tanganku gemetar. Kakiku bergoyang. Mataku mulai dapat terbuka, dan…
Mataku masih redup, kulihat matahari terik di depanku secara tidak jelas dan lama-lama kudapatkan penglihatan yang jelas dari mataku. Aku melihat seseorang. Seorang laki-laki. Dia bukanlah Shiro.
“Nggh???” dengungku. Badanku serasa sehabis bangun tidur. Bangun dari tidur yang terlalu lama. Kukedipkan mataku beberapa saat dan kulihat laki-laki yang berada di depanku. Rambutnya hitam pendek, matanya bulat hitam, dan mukanya oval. Dia tampak tersenyum kepadaku, dan kulihat tangannya mengangkat badanku. Mataku benar-benar melihat dengan jelas sekarang.
“Kau baru saja bangun dari tidurmu, nona?” kata laki-laki itu sambil mendirikanku. Laki-laki itu tampak ramah, memakai kaos putih dan celana jeans biru gelap yang panjang sampai ke bawah kakinya serta memakai sarung tangan hitam di tangannya.
Aku melihat kembali sekelilingku dan diriku sendiri. Astaga. Aku tidak percaya. Sekarang aku masih memakai kemeja putih dan rok biru yang diberikan oleh Rin, bukan baju besi yang kupakai saat pertempuran berlangsung. Di sekelilingku, tampak orang banyak berkeliling kesana kemari, berpakaian rapi.
Aku kembali ke masa depan. Dimana Shiro dan Rin berada di masa tersebut. Kesempatan kedua itu ternyata benar-benar diberikan kepadaku.
Kutanya dia karena aku sedikit histeris dengannya, “Siapa kamu? Mengapa aku berada disini?”
Pria itu tampak tidak senang dengan ucapanku itu dan bertanya balik, “Seharusnya aku yang bertanya, mengapa nona yang berada disini? Saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku melihatmu terjatuh dan tampak tidur. Aku yang membangunkanmu.”
Oh! Aku tidak tersadar.
“Maafkan saya. Saya orang baru di sini, dan saya tidak menyadari sikap Anda yang sudah baik terhadap saya,” kataku sambil menundukkan kepalaku kepadanya.
“Tidak perlu sungkan,” katanya, “Lagipula saya sudah terlambat dari jadwal saya berangkat. Sekarang saya harus menunggu sekitar setengah jam lagi untuk menaiki kereta dengan tujuan yang sama.”
Tidak…bagaimana ini? Dia tampak kerepotan denganku. Kembali ke masa depan, aku mulai merepotkan kembali orang yang berada.
“Setidaknya,” katanya lagi, “Sebenarnya Anda mau kemana?” tanyanya.
Kemana? Aku mengingat Shiro kembali dan mengingat apa nama kotanya. Kota Fuyuki. Ya, tempat dimana perang Cawan Suci yang kelima berlangsung dan berakhir. Tempat dimana aku bertemu Shiro untuk pertama kalinya sebagai anak angkat dari Kiritsugu Emiya, Masterku saat perang Cawan Suci yang keempat dan berakhir dengan parah. Tempat dimana aku akan kembali.
“Ke Fuyuki,” kataku, “Aku harus menemui seseorang di sana.”
“Kebetulan, tujuanku juga sama. Mari kita duduk sebentar daripada hanya berdiri tegak di sini menunggu kereta datang,” kata pria itu sambil melangkahkan dirinya ke tempat duduk yang berada di belakangku. Aku mengikutinya duduk. Dan aku lupa aku belum bertanya siapa namanya.
Aku menatap ke kiri dimana dia duduk disampingku dan bertanya, “Siapa nama Anda?”
Gawat. Aku tidak dapat mengatakan bahwa namaku adalah ‘Saber’ ataupun ‘Arturia’. Pria itu menatapku dengan bingung dan menganggukkan kepalanya.
“Tidak apa-apa jika kau masih kaget dari bangunmu, kebanyakan orang setelah tergesa-gesa harus ditenangkan lebih dahulu. Kau tenang saja, aku akan memberitahukan namaku terlebih dahulu,” katanya.
Baguslah.
Pria itu menatapku sambil tersenyum kecil dan berkata sambil menundukkan kepalanya di depanku, “Namaku Edwin. Ignatius Edwin.” Kupikir orang ini dapat dipercaya. Rasanya tidak akan apa-apa bila aku memberitahukan padanya namaku yang lain.
Aku juga tersenyum padanya dan menundukkan kepalaku di depannya untuk menjaga rasa hormatnya, “Namaku Saber.”

3 - Unpleasant FeelingEdit

Ignatius Edwin – nama yang sama sekali tidak kukenal. Saat aku melihat laki-laki tersebut, dia tampak tenang dan kalem, bibirnya terus tersenyum melihat ke depan, menunggu kereta yang akan menanti di depannya. Saat itu aku benar-benar tidak tahu dan tidak punya ide atas apa yang dia pikirkan, tetapi aku mau tahu kenapa dia ingin sekali ke kota Fuyuki. Maka kutanyakan saja tentangnya.
“Maaf, Edwin – benar ‘kan itu nama panggilanmu?” tanyaku membuka pembicaraan.
Pria itu kemudian menengok kembali kepadaku dan berkata dengan halus kepadaku, “Tepat. Mengapa, Nona Saber?”
Ketika aku mendengar dia menyebut namaku – serasa dia mengenal apa yang terjadi dengan seluruh Perang Cawan Suci yang berlangsung saat ini. Dia sudah menjawab dan bertanya kembali kepadaku, maka akan kujawab dia dengan baik.
“Mengapa kau mau ke kota Fuyuki saat ini?”
Pria itu terdiam sebentar mendengar pertanyaan mengapa alasannya datang ke kota tersebut. Tak lama kemudian, setelah melihat ke arah yang berlainan denganku, dia menjawabku dengan sedikit horor. “Aku ke kota Fuyuki untuk menyelidiki insiden misterius yang terjadi akhir-akhir ini.”
Aku penasaran dan akhirnya bertanya kembali padanya, “Apa yang kau maksud dengan insiden-insiden itu?”
Pria itu kemudian menunduk seperti orang yang kehabisan alasan untuk diucapkan, tetapi dia membuktikan pikiranku tentangnya salah. Dia kembali menengokkan kepalanya kepadaku dan menjawab, “Ada beberapa orang yang menghilang tanpa alasan yang jelas. Aku datang ke sana untuk mencari apa penyebab kehilangan orang-orang tersebut, dan jika aku bisa, aku ingin mengembalikan orang-orang tersebut ke masyarakat.” Aku mulai tertarik dengan penjelasannya, tapi aku penasaran apa pekerjaannya yang sesungguhnya. Orang hilang bisa dicari dengan orang yang berprofesi apapun – oleh itu aku bertanya kepadanya.
“Apa pekerjaanmu?” tanyaku.
Dia menjawab dengan cepat, “Seorang detektif.”
Pikiranku masih dirundung rasa penasaran, padahal perutku itu saat itu sudah meronta-ronta minta diisi. Maklum, sebagai Servant, dahulu oleh masterku Shiro, aku tidak diberi suplai sihir apapun, jadi yang hanya dapat kulakukan hanya makan dan istirahat sebanyak-banyaknya selama Perang Cawan Suci yang kelima. Tapi disini aku tidak tahu statusku baik sebagai Servant kembali ataupun manusia biasa.
Perutku mulai berbunyi, “Krruuukk,” dan karena itu aku menahan tangan kananku di perutku. Melihat hal tersebut, pria tersebut langsung merogoh tasnya yang berada di samping kanannya, dan mengambil satu kotak makanan dan menyodorkannya dengan tangan kanan kepadaku.
“Ini, ambillah,” katanya.
Tampaknya aku pernah menemui laki-laki yang seperti ini – dia seperti Shiro. Dia tampaknya sangat perhatian kepada semua orang yang pernah ditemuinya. Pikiranku lalu diselimuti rasa malu karena telah disodorkan begitu, dan aku menjawabnya, “Maaf, tidak usah repot-repot.”
“Ambillah. Perutmu sudah tidak tahan lagi. Bila kau biarkan seperti itu terus, kau bisa menderita maag dan asam lambungmu dapat membuat lambungmu bocor,” katanya tepat setelah aku menolak kotak makannya tersebut. Memang perutku tampaknya tidak tahan lagi dan berbunyi kembali, “Krruukk.”
Kulihat pria itu kemudian melihat arloji yang berada di tangan kirinya dan kembali berbicara kepadaku untuk menyakinkan aku kembali, “Lihat, sekarang pukul 12 siang. Waktu yang tepat untuk makan siang. Makanlah.”
Akhirnya aku mengambil kotak tersebut, toh dia tidak rugi dan juga tidak untung. Aku mengambilnya dengan tangan kananku dan kemudian berkata, “Terima kasih atas bantuannya.”
“Tidak sungkan,” balasnya.
Tetapi, walaupun saat itu aku memakannya, dia masih terdiam melihat terpaku ke depan, seperti pikirannya sedang memikirkan suatu inspirasi terpendam di dalam otaknya. Oleh karena itu aku tidak puas karena aku hanya makan sendiri dan aku kembali bertanya kepadanya, “Mengapa kau tidak makan? Kau sedang memikirkan apa?”
“Tidak apa. Aku sudah makan. Aku sedang memikirkan analogi ini : apabila hidup kita seperti kereta yang sedang melaju tanpa henti, tanpa rem atau apapun; hidup kita akan berjalan melewati jalan linear. Tapi apabila kita berani untuk mengendalikan kereta tersebut, berarti kita berani untuk mengambil jalan lain dari hidup ini – sama seperti jalur kedua kepada kereta.”
Kulihat analogi tersebut sama persis apa yang terjadi dalam hidupku – selama ini aku mengambil jalan linear untuk selalu mengejar Cawan Suci. Dan aku sekarang mengendalikan hidupku sendiri, untuk mencintai Shiro, untuk mencarinya kesini. Dan hal itu terjadi. Analogi yang disebutkannya benar adanya. Setelah itu aku kembali makan kembali disamping orang tersebut, menunggu kereta tujuan kota Fuyuki yang akan datang.
Sesaat sesudah aku makan, aku mengembalikan kotak makan yang diberikan oleh Edwin kepadaku sambil menundukkan kepala dan mengucapkan terima kasih padanya. Edwin pun mengangguk dan tersenyum kepadaku. Hanya selang waktu beberapa detik setelahnya, Edwin kembali menengok kepadaku dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadaku.
“Apa tujuan Anda datang ke kota Fuyuki?” tanya dia. Aku tidak dapat menghindar dari pertanyaan tersebut, maka kujawab.
“Aku mencari seorang teman lama.”
Dia bertanya lagi, dan hal itu membuatku sangat tertarik untuk menjawabnya, “Siapa nama teman Anda tersebut? Mungkin saya kenal dengannya?”
“Nama orang tersebut Emiya. Shiro Emiya.”
Sesaat setelah mendengar pernyataanku tersebut, dia terpaku untuk diam dan rona wajahnya berubah dari yang tadinya tenang tersenyum kepadaku menjadi agak kaget dan matanya terbuka lebar-lebar mendengar nama tersebut, Shiro Emiya. Dia bertanya sekali lagi untuk menyakinkan kepadaku apakah benar yang dicari olehku bernama Shiro Emiya. Tentu saja kujawab ya. Pria tersebut langsung mengambil tasnya dari bawah kursinya, membuka dan merogoh isinya, setelah itu mengeluarkan sebuah foto kepadaku.
“Apakah ini benar-benar orang yang kau cari?” tanyanya sambil menunjukkan foto tersebut. Aku lihat baik-baik foto tersebut. Memang benar adanya, foto tersebut merupakan foto orang yang kucari.
“Ya,” aku menyakinkannya lagi, “Memang benar itu orangnya.”
Orang itu kemudian berkata cepat padaku, “Setelah sampai di kota Fuyuki, kau harus segera ikut denganku.” Aku mulai mencium keanehan di sini. Ada apa dengan Shiro? Aku kembali bertanya kepadanya tentang hal tersebut.
“Mengapa dengan Emiya? Apa dia baik-baik saja?” tanyaku. Tepat setelah aku bertanya, kereta lewat di depan kami untuk berhenti, menunggu kami untuk naik ke dalamnya. Edwin menjawab dengan lugas, “Setelah kita duduk bersama di kereta, semuanya akan kujelaskan.” Kami berdua kemudian bergerak cepat maju untuk masuk ke kereta dan mencari tempat duduk dimana kami dapat berbicara dengan tenang satu sama lain. Aku mulai tidak sabaran dan kembali bertanya pertanyaan yang sama kepada Edwin. Akhirnya Edwin memberitahu semua yang dia tahu kepadaku.
“Nona Saber, sejak kau adalah teman lama dari seseorang yang bernama Shiro Emiya, yang saat ini juga kutuju sesaat setelah sampai di kota Fuyuki, kita berdua mempunyai tujuan yang sama. Kita berdua mau menemui orang tersebut, dan oleh karena itu akan kuberitahu semua apa yang kutahu sampai saat ini.
Kota Fuyuki dilanda kebakaran yang hebat baru-baru ini – tepatnya di daerah suburban atas bukit yang dipenuhi dengan rumah-rumah yang bergaya Eropa. Kebakaran itu nyaris melalap hingga ke pusat kota, namun beberapa kemudian setelah hampir semua daerah tersebut terbakar; menurut kesaksian dari para saksi yaitu para pemadam kebakaran yang bertugas di sana, mengatakan bahwa api itu secara tiba-tiba mengecil sendiri yang tadinya membesar, lalu tiba-tiba menjadi lenyap. Setelah api tersebut lenyap dan semua rumah di sana sudah hangus terbakar, tinggal tersisa puing-puing, orang-orang lain yang berada di pusat kota mengatakan, bahwa di pusat kota tiba-tiba muncul sekumpulan orang yang sedang tidur lelap di jalanan – penghuni rumah-rumah tersebut. Namun, dari semua fakta tersebut, tersisa satu rumah, bergaya Jepang tradisional, yang bahkan tidak terkena efek api yang menghanguskan rumah-rumah warga. Rumah tersebut merupakan satu-satunya yang tidak terbakar; walaupun begitu, semua penghuni di dalam rumah tersebut lenyap.”
Aku tahu rumah oriental itu. Rumah milik mendiang Kiritsugu Emiya dan diturunkan kepada anaknya, Shiro Emiya. Edwin masih melanjutkan perkataannya.
“Aku tahu bahwa satu-satunya penghuni rumah tersebut adalah Shiro Emiya – teman baikku. Tepat setelah mengetahui fakta bahwa dia menghilang, aku tergerak untuk menyelidiki dimana dia berada. Setelah pencarian beberapa bulan, aku menemukan fakta lain bahwa yang hilang bukan hanya Shiro Emiya, tapi teman-temannya, yang juga kukenali, salah satunya adalah Tohsaka Rin, jika kau mengenalnya, nona Saber.”
Tidak mungkin lagi aku tidak mengenal mereka. Aku sangat mengenal mereka sejak Perang Cawan Suci yang keempat.
“Untuk itulah, jika kau mengetahui petunjuk-petunjuk yang dapat membawaku kepadanya kembali secara utuh, dan mau membantuku dalam kasus ini, aku sangat berterima kasih kepadamu, nona Saber,” kata Edwin kemudian, sambil membungkukkan badannya, menghormat kepadaku, memohon dengan sangat. Aku tidak berdaya melihatnya menderita seperti ini, seperti Shiro yang telah menderita akibat Perang Cawan Suci.
Kedua tanganku mengangkat badannya kembali ke atas dan aku berkata kepadanya, “Tenanglah, Ignatius Edwin. Aku akan membantumu sejak karena aku juga mencarinya pertama kali aku datang ke sini. Dia juga merupakan orang yang sangat berarti kepadaku.”
Bibir Edwin kembali tersenyum setelah memberikan fakta-fakta yang dia beberkan kepadaku tentang keanehan Fuyuki yang terjadi baru-baru ini dan berkata, “Terima kasih atas bantuannya.”
Aku kembali membalas perkataannya, “Untuk waktu lain kali, jangan panggil aku Nona Saber. Panggil aku Arturia saja.”
Masih tersenyum, Edwin kembali membalas perkataanku barusan, dan tampaknya karakteristiknya tidak asing bagiku selama ini aku bertemu dengannya.
“Baiklah, Arturia Pendragon. Saya siap membantu; dan saya mohon bantuannya satu sama lain.”

4 - The Concealed ThingsEdit

Tunggu sebentar. Apa yang baru saja Edwin katakan? Arturia Pendragon? Nama asliku? Tidak mungkin. Darimana dia tahu? Ah, daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik aku bertanya pada Edwin secara langsung.
“Edwin, apa yang baru saja kau katakan? Maaf – aku tidak mendengarnya dengan jelas,” tanyaku. Edwin melihat kembali padaku dan langsung menjawab padaku tanpa ragu, untuk membuktikan persepsiku salah.
“Hmm? Mengapa, Arturia? Ada yang salah?”
Ah, sudahlah. Orang ini tidak bersalah sama sekali. Mungkin tadi hanya halusinasi, dia mengetahui dan memanggilku dengan nama asliku. Kulihat Edwin lagi dan dia sedang melihat keluar jendela. Tampaknya otaknya tidak pernah berhenti bekerja untuk berpikir. Namun, walaupun orang ini sangat serius, tapi tenang dan dapat menjawab orang dengan ramah. Baru kulihat ada seorang detektif yang seperti ini.
Aku melihat keluar jendela juga, melihat pemandangan dari kereta yang sedang melaju sangat cepat. Sangat cepat, bahkan aku dapat melihat pemandangan di luar dalam gerak lambat. Rasa-rasanya kereta ini malah makin lambat melaju di siang hari yang dingin ini. Waktu rasanya berjalan sangat cepat. Aku baru saja merasakan keberadaanku di waktu ini dan sekarang aku sudah berada di kereta untuk pergi ke kota Fuyuki, bersama dengan orang yang baru saja kukenal, Ignatius Edwin.
Dari jendela itu, aku melihat pemandangan di luar dan pantulan cahaya juga memberikan pandangan di dalam dengan jelas. Kembali aku melihat Edwin. Dia masih tersenyum kecil melihat apa saja yang berada diluar. Namun, ditengah-tengah pandangan itu, aku melihat ada sesuatu yang lain daripadanya.
Di kedua tangannya, dia memasang sepasang sarung tangan hitam, tampaknya terbuat dari kulit. Karena jendela itu dapat memantulkan bayangannya secara jelas, bahkan aku dapat melihat sebuah pola yang membentuk suatu gambar pada sarung tangannya – pola-pola itu sangat mirip dengan pola pada jaman Renaissance dahulu. Dalam pikiranku, mungkin baginya benda itu sangat berharga.
Karena sudah kurang lebih tiga menit kami tidak berbicara satu-sama lain, aku mulai membuka pembicaraan dengan bertanya padanya tentang sarung tangan tersebut.
“Edwin?” “Ya?” tanyanya balik. “Apa yang kau pakai di kedua tanganmu itu?” tanyaku.
Senyum Edwin menghilang sesaat setelah aku bertanya padanya mengenai sarung tangan di kedua tangannya itu. Namun, mungkin karena melihat seorang perempuan berada di depannya, akhirnya dia menjawab kepadaku.
“Oh, ini,” katanya sambil melihat pada kedua tangannya, “Pada saat aku akan menyelesaikan kasusku yang terdahulu, ada kecelakaan yang membuat tanganku terbakar. Tidak parah, namun dokter menyarankanku untuk memakai sarung tangan agar tidak terkena sinar matahari secara langsung.”
Hmm. Mengapa dia berbicara dengan nada bergetar? Tampaknya ada sesuatu yang disembunyikan dan dia tidak mau memberitahukannya padaku.
“Arturia, tampaknya kau sangat penasaran dengan sarung tangan ini karena aku telah memakainya sejak pertama kali kita bertemu sampai sekarang?” tanyanya balik. Itu benar dan kujawab dia, “Tebakanmu benar.”
“Artinya kau sudah tahu kalau aku bohong?” tanyanya lagi. “Aku tidak punya pikiran satupun tentang kebohonganmu itu,” kataku, walaupun aku telah menyadari ada yang lain daripadanya, “Memangnya kau benar-benar berbohong?”
Dia kemudian kembali berbicara tentang sesuatu yang sangat aku kenali selanjutnya.
“Hmm. Baiklah. Aku hanya bercanda. Sarung tangan yang kupakai ini sangat berharga bagiku, dan kau mau tahu alasannya?” tanyanya lagi sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa melihat gayanya yang tadi serius menjadi lain. Aku masih diselimuti rasa penasaran tentang sarung tangannya itu. “Apakah kau ada alasan lain yang dapat membuatku tertawa?” kataku sambil tertawa kecil juga.
Edwin tersenyum padaku sebelum dia berkata padaku, “Apakah kau percaya tentang hal-hal aneh? Seperti sihir?” Ah, ada-ada saja. Tentu saja aku mengetahuinya, dan oleh karena itu aku dapat dipanggil ke dunia ini sebagai seorang Servant oleh para Magi sebagai Master telah dipilih untuk memakai kemampuan sihir mereka. Namun, karena aku sedang berbicara dengan orang lain, maka kujawab dengan santai, “Aku percaya-percaya saja.”
“Jadi kalau begitu, kau juga tahu tentang Cawan Suci?” tanya Edwin.
Hatiku terkejut sebentar. Darimana dia tahu tentang Cawan Suci? Dan jangan-jangan dia tahu juga mengenai Perang Cawan Suci? Tangan kiriku bergetar sebentar dan Edwin melihat hal tersebut, lalu bertanya kepadaku untuk menenangkan diriku, “Mengapa? Ada sesuatu?”
“Ah, tidak ada apa-apa, tenang saja. Aku pernah mendengar tentang hal tersebut. Cawan Suci merupakan piring atau piala yang digunakan oleh Yesus saat Perjamuan Terakhir, dan dikatakan mempunyai kekuatan yang ajaib,” kataku kemudian, padahal sebenarnya pengertian ‘Cawan Suci’ yang sesungguhnya menurutku, berdasarkan Perang Cawan Suci keempat waktu dahulu, bukanlah begitu.
“Kau mau mendengarkan lebih lanjut meskipun yang akan kukatakan selanjutnya ini mungkin sangat aneh kedengarannya?” tanya Edwin. “Tentu saja,” jawabku. Aku bahkan banyak sekali mendengar hal-hal yang manusia sekarang tidak mengetahuinya. Aku sudah ahli.
Edwin mendekatkan kepalanya di telingaku dan berbisik, “Pada kasusku yang terakhir, aku menghancurkan Cawan Suci, dengan bantuan sarung tangan ini, yang dapat membuatku berubah menjadi seorang Magi,” dan sesudah itu dia duduk kembali.
Wow. Menghancurkan Cawan Suci? Cawan Suci apa yang dia maksud? Apa dia juga hadir dalam Perang Cawan Suci keempat? Ah, tidak mungkin. Aku tetap diam.
“Sudah kuduga, pastinya kau tidak akan percaya,” katanya kemudian, “Sebab kejadian tersebut diliput di media sebagai ‘Kebakaran Basilika Santo Petrus’, padahal hal itu terjadi bukan karena kebakaran, namun karena pertarungan yang hebat di sana antar para Magus. Yaitu aku, yang memegang sarung tangan ini, lalu ada seorang ahli teolog temanku, dan kemudian seorang Penyihir, melawan seorang dari Ksatria Templar yang akan menghidupkan kembali Cawan Suci. Singkat cerita, aku tahu bahwa yang dia maksud bukanlah Cawan Suci, namun campuran dari dunia supranatural dan teknologi – sekelompok tentara gaib.”
Magus? Penyihir? Jadi dia juga adalah seorang Magus? Seseorang yang sama seperti Shiro dan Rin?
“Kkkkkrrrrrriiiiittttt.” Tepat setelah itu, kereta berhenti. Mendengar hal tersebut, kaki kami berdua langsung tergerak untuk keluar untuk menuju taksi secepatnya. Aku berjalan di belakang Edwin yang sedang memanggil taksi.
Kami masuk ke dalam taksi yang ada dan Edwin segera mengambil secarik kertas dari sakunya dan memberikannya pada supir taksi. Supir itu mengangguk dan segera mengantarkan kami berdua ke tempat yang kami tuju : rumah Emiya.
Aku mengatupkan kedua tangan di dadaku. Rasa ngeri dan tegang bercampur aduk.

Act OneEdit

Part One : AwarenessEdit

Dalam perjalanan bersama Edwin, aku melihat di sekeliling, sama seperti waktu Shiro mengajakku berkencan, tapi bedanya pada saat itu kami sedang naik bus dan sedang dalam perasaan bahagia. Sekarang aku sedang dalam kepanikan, Shiro masih hidup atau tidak. Aku sangat gugup.
Aku merasakan keringat di kepalaku mulai turun ke bawah. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sebelumnya aku tidak pernah takut sama sekali untuk menghadapi sesuatu. Namun kesempatan kedua untuk hidup yang diberikan kepadaku ini menjadikan kelakuanku menjadi tidak biasa.
Aku melihat Edwin lagi dan dia masih tetap memandang lurus ke depan. Tampaknya dia juga mempunyai rasa kepanikan yang luar biasa sehingga hampir selama perjalanan itu dia diam bergeming tanpa bergerak sama sekali. Sang supir tampaknya sudah mengetahui kepanikan kami berdua dan menjalankan taksinya dengan cepat. Namun Edwin masih tetap diam seperti tidak ada apa-apa, dan sarung tangannya masih dipakai olehnya.
Setengah jam kemudian kami mulai melewati ‘Jembatan Merah’, daerah tempat taman dimana aku dan Shiro melawan Gilgamesh. Yang aku ingat saat itu lantai taman itu sudah hampir hancur semuanya. Sekarang sudah diperbaiki kembali. Tapi hal itu juga tidak dapat membuatku tenang untuk sementara. Setelah melewati jembatan tersebut, kami mulai memasuki daerah tempat Shiro tinggal.
Sang supir berhenti lima detik kemudian setelah kami melewati jembatan tersebut. Edwin mengambil uang dari saku kemejanya dan menyerahkannya pada sang supir setelah melihat biaya yang harus dibayarnya, dan kami keluar dari taksi setelah itu. Dalam tiga detik taksi yang dikemudikan supir tersebut melakukan rotasi 180 derajat dengan cepat seperti orang yang sangat terburu-buru atau terkena PIT manuver dan segera meninggalkan kami setelah mendecitkan bannya ke aspal.
Edwin berada di depanku dan aku melihat sekeliling. Ternyata Edwin benar. Seluruh daerah itu luluh lantak dengan api sampai rangka bangunannya hampir tidak bersisa lagi dan yang ada di tanah hanyalah puing-puing rumah. Di sekeliling itu sudah nampak satu hal yang paling mencolok : rumah Emiya tidak runtuh sama sekali, dan bangunannya masih tegak berdiri, selain langit biru yang sekarang terlihat sangat jelas dan tidak terhalang lagi. Hanya rumah itu yang masih berdiri di antara puing-puing tersebut. Lainnya tinggal abu.
Tanpa pikir panjang kami berdua langsung lari ke tempat tersebut sampai pintu masuk. Dalam sepuluh menit kami berlari, kami sampai di tempat yang kami maksudkan. Kami berdua melihat pintu masuk rumah yang terbuat dari kayu itu masih tertutup dengan rapat.
Edwin mengetuk engsel pintu kayu tersebut, “Tok tok tok tok tok.”
Tak ada jawaban. Edwin mengetuk pintu sekali lagi dan sama sekali tidak ada jawaban. Aku maju ke hadapan Edwin dan tampaknya Edwin mengerti maksudku dan dia segera menjauh dari engsel pintu. Sekarang aku yang mengetuknya selama sepuluh kali.
Ternyata pintu itu terbuka dengan sendirinya, tidak dikunci dari dalam. Aku segera masuk dan Edwin yang berada di belakang mengikutiku dengan hati-hati. Apakah benar Shiro sudah tidak ada lagi di sini?
“Shiro!” teriakku, mengharapkan agar orang tersebut keluar, apabila orang itu ada. Namun selama lima detik menunggu tidak ada jawaban yang muncul. Aku berteriak lagi selama tiga kali ke sudut-sudut ruangan sambil berjalan dan melihat di antara celah-celah ruangan yang dibatasi dengan kertas. Tetap saja semua itu tidak membuahkan hasil.
Kulihat kembali dari arah kejauhan ke arah Edwin dan tepat saat itu juga kudengar langkah seseorang sedang maju ke arahnya. Langkah yang datar, langkah yang menakutkan. Tampaknya ada sesuatu yang aneh di sini. Tapi Edwin tampaknya ingin melihat siapa yang melangkahkan kaki dengan cara tetap berdiam diri dan berkonsentrasi terhadap arah datangnya suara langkah kaki tersebut. Makin lama makin dekat dan langkah itu makin keras terdengar.
Tiga detik kemudian kami berdua sama-sama melihat siapa yang keluar. Namun mulai terdengar suara desahan yang aneh.
“Hhhhrrrrrrhrhrhhhhhh… hhhhrrrrrrhrhrhhhhhh…”
Apakah Berserker yang sedang maju ke arah Edwin? Keringat makin mengucur deras dari kepalaku. Aku semakin panik dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Maju ke arah Edwin atau tetap diam disini? Bahkan aku tidak tahu aku masih dapat memakai baju bajaku sejak aku di sini bukanlah sebagai Servant lagi tetapi sebagai manusia biasa. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
Dalam kepanikan dan menunduk ke bawah kebingungan, aku mencoba melihat kembali ke arah Edwin dan ternyata Edwin sudah melihat siapa yang keluar dan aku tidak percaya sama sekali dengan apa yang keluar menuju Edwin.
Rambut merah. Baju biru-putih. Tinggi badan sekitar 170cm. Orang yang bernama Shiro Emiya itu bukan tampak seperti Shiro. Matanya merah seperti sedang dirasuki oleh iblis dan di kedua tangannya dia memegang pedang Kanshou dan Bakuya dan dia makin maju ke arah Edwin. Menyadari bahaya apa yang sedang dialaminya, Edwin membujukku untuk mundur.
“Mundurlah, Arturia. Biar aku yang menangani hal ini,” katanya. Aku mundur lima langkah dari posisiku semula. Sekarang hanya strategi ini yang dapat dilakukan selama aku tidak tahu situasiku dapat membuat baju besiku dengan mana yang ada atau tidak karena aku tidak dapat merasakan apa-apa dari kekuatan alam, selain itu aku juga tidak dapat mengenali Shiro dari mana yang dia pakai. Aku tidak dapat membantu apa-apa. Dan aku ingin melihat sebenarnya siapa Edwin. Tampaknya dia bukan hanya sekadar detektif biasa.
Edwin merentangkan tangannya ke bawah dan mulai berbicara.
“Agnesco veteris vestigia flammae.”
Dalam kejauhan aku masih dapat melihat sarung tangan Edwin yang menyala-nyala biru, dan cahaya itu makin lama makin menyelubungi Edwin. Lalu dia masih berbicara lagi dalam bahasa Latin…aku mencoba menerjemahkannya.
“In principio erat Verbum et Verbum erat apud Deum et Deus erat Verbum. Fortitudo me defendit – Brevis ipsa vita est sed malis fit longior.“
Kemudian Edwin menutup matanya dan berbicara lagi.
“In nomen of mucro Capio sacramentum expleo oraculum. Vestri sacramentum quod mei ero suggero in unus. Ego sum iungo de Olympus quod terra quod illustrator per mucro. Ego conjuratus ut desiderium preteritus vacuus reputo, quoniam panton ero miniatus quod mos fade absentis per vicis. Ut ego accersitus vobis oculus de abyssus, rector mihi ut verum.“
Aku pikir dia mengucapkan ini, “Dalam nama pedang aku mengambil sumpah untuk memenuhi ramalan. Sumpahmu dan sumpahku akan bergabung menjadi satu. Aku adalah penghubung surga dan bumi serta diberi pencerahan oleh pedang. Aku bersumpah untuk melupakan masa lalu karena pada akhirnya semua akan rusak dan akan hilang seiring waktu berjalan. Seraya aku memohon kepadamu Mata Neraka, tuntun aku menuju kebenaran.”
Mata Neraka?
Angin mulai berputar di sekelilingku seperti angin puting beliung. Sementara Edwin masih bertahan untuk berdiri, Emiya yang tampak seperti setan itu mulai mendekati Edwin, dan Edwin tampak menyebutkan ‘mantera terakhir’-nya; doa Bapa Kami.
“Pater Noster qui es in caelis, sanctificetur nomen tuum. Adveniat regnum tuum. Fiat voluntas tua, sicut in caelo et in terra. Panem nostrum quotidianum da nobis hodie, et dimitte nobis debita nostra, sicut et nos dimittimus debitoribus nostris. Et ne nos inducas in tentationem: sed libera nos a malo.“
“Pppprrrrrrraannngg!”
Tiba-tiba aku mendengar dentingan antar benda keras. Debu berterbangan dan selama itu juga aku menutup mataku. Setelah tampak angin mereda kembali,p erlahan-lahan kubuka mataku. Kelihatan di sekelilingku hanya masih ada debu yang berterbangan dan kabut yang menutupi penglihatanku. Aku masih tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sudah terjadi.
Waktu terus berjalan.
2 detik.
3 detik.
Kabut mulai menghilang dan aku mulai bisa melihat sosok dua bayangan yang sedang berhadapan satu sama lain.
4 detik.
5 detik.
Aku mengenali sosok Emiya yang sedang dirasuki itu, tetapi sosok yang lainnya masih kulihat samar-samar dalam bentuk bayangan. Nampaknya Edwin.
6 detik. Kabut benar-benar lenyap dan sekarang aku bisa melihat dengan jelas sekelilingku.
Astaga.
Aku tidak percaya apa yang kulihat terhadap sosok yang terakhir. Itu Edwin. Tapi sosoknya bukan Edwin.
Yang sekarang kulihat adalah seseorang yang diselimuti warna hitam di seluruh tubuhnya, tangannya kirinya terbentuk seperti pedang yang tajam mengkilat yang tampak menyatu dengan tangannya. Tangan kanannya masih mengepal tetapi kali ini sarung tangannya sudah tidak ada.
Rambutnya hitam cepak – memakai jaket hitam dan jeans yang menyelimuti tubuhnya, tetapi atmosfir yang melingkupinya mengeraskan udara di tempat itu dengan hanya berdiri di sana. Walaupun begitu, dibandingkan kedinginan udara di sana, dia punya sosok ketenangan yang mengalahkan kedinginan udara saat ini. Dia adalah seseorang yang entah bagaimana tidak cocok dengan pemandangan tempat ini sekarang.
Ini sudah pasti Edwin – Ignatius Edwin yang baru saja, sekitar satu jam yang lalu kutemui.
Tapi apa yang baru saja Edwin lakukan sampai dia dapat berubah seperti itu?
Aku pikir dia memang seorang Magus yang lain dari pada yang lain. Bahkan sangat berbeda dari para Magus yang kutemui selama Perang Cawan Suci yang pernah kualami.
Edwin yang tampak berubah wujud itu memutarkan kepala kembali kepadaku dan berbicara dengan datar, “Ini bukan Shiro yang asli. Ini hanya boneka sihir.”

3 komentar:

  1. Bro/sis bisa bagi link buat ceritanya? Atau bro/sis punya kelanjutan nya?

    BalasHapus
  2. Mau tanya apakah saber jadi bertemu emiya sirou gak yah? Dann gmn kisah cinta mereka?? Hehe

    BalasHapus