Katon, katon.
Kursi kayu sederhana yang bergoyang membuat suara lembut sambil mengayun ke depan dan belakang di beranda.
Cahaya matahari lembut di akhir musim gugur bersinar melalui
puncak pohon cemara. Hembusan angin ringan dengan lembut bertiup
sepanjang permukaan danau yang jauh.
Pipinya berbaring di atas dadaku sembari ia bernafas dengan lembut dan tertidur pulas.
Waktu itu, yang terisi oleh ketenangan emas, terus mengalir dengan mantap.
Katon, katon.
Aku menggoyangkan kursi dan dengan lembut membelai rambut warna
kastanye gadis ini. Meski dia sudah tertidur, senyum tipis muncul di
bibirnya.
Sekelompok Sprite tengah bermain di halaman depan. Kukusan daging
di dapur tengah mendidih dengan suara rebusan yang terdengar jelas. Aku
berharap dunia lembut ini, di rumah kecil yang jauh di dalam hutan,
akan berlanjut untuk selama lamanya. Namun aku sadar kalau ini adalah
harapan mustahil.
Katon, katon.
Seiring kaki kursi terus membuat suara, jam pasir terus berjatuhan satu butir pada satu waktu.
Aku mencoba menarik si gadis lebih dekat ke dadaku seolah aku melawan takdir.
Namun, lenganku hanya bisa memeluk udara tipis.
Aku dengan cepat membelalakkan mata kebingunganku. Tubuhnya, yang
bersandar padaku beberapa saat lalu, mendadak lenyap sama sekali. Aku
berdiri dari kursi dan melihat ke sekeliling area.
Seperti jatuhnya tirai dari sebuah pentas, warna matahari senja
perlahan menjadi gelap. Kegelapan menakutkan mulai mewarnai seluruh
hutan menjadi gelap gulita.
Aku berdiri tegak di angin musim dingin dan memanggil namanya.
Namun tak ada balasan. Tak ada di taman depan dimana para Sprite
tengah bermain, atau di dapur – sosoknya tak bisa ditemukan dimana mana.
Sebelum aku menyadarinya, seluruh rumah mulai dikelilingi oleh
kegelapan. Perabot rumah dan dinding mulai runtuh dan lenyap seolah
mereka semua terbuat dari kertas. Hanya kursi yang bergoyang dan aku
sendiri yang masih tersisa dibalik kegelapan ini. Biarpun tak ada
siapapun yang duduk di atas kursi, ia terus mengayun ke depan dan
belakang tanpa berubah.
Katon, katon.
Katon, katon.
Aku menutup mataku, menajamkan telingaku, dan mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk memanggil namanya.
Mataku dengan cepat terbuka oleh suara yang cerah dan keras. Aku tak
lagu tahu apakah aku berteriak hanya di dalam mimpi atau aku benar benar
melakukan itu di dunia nyata.
Berbaring diatas ranjang, aku menutup mataku dan mencoba kembali
ke permulaan mimpiku. Namun aku segera menyerah, dan setelah beberapa
saat aku perlahan membuka mataku sekali lagi.
Papan kayu tipis memasuki bidang pandanganku bukannya panel putih
di dinding rumah sakit. Aku tengah terbaring di atas kasur lembut di
atas seprai katun bukannya material dari gel.
Ini adalah – kamar Kirigaya Kazuto di dunia nyata.
Aku mengangkat tubuh bagian atasku dan melihat ke sekelilingku.
Kamar 6 lantai memiliki lantai tak biasa yang terbuat dari kayu alami.
Hanya tiga potong perabot bisa ditemukan di dalam ruangan; sebuah hard
drive komputer, sebuah router, dan ranjang tempatku duduk.
Sebuah headgear yang nampak usang terletak di tengah tengah Router yang diangkat secara vertikal.
Namanya adalah «Nerve Gear», sebuah model interface model full
dive yang telah memenjaraku dalam virtual reality selama dua tahun.
Setelah pertarungan panjang dan sulit, aku akhirnya lepas dari mesin
itu, dan akhirnya bisa melihat, merasakan, dan menyentuh dunia nyata.
Ya, aku telah kembali.
Namun, si gadis yang mengayunkan pedangnya dan menyatukan hatinya denganku..........
Rasa sakit mendadak menyerang dadaku, dan aku mengalihkan
pandanganku dari Nerve Gear dan perlahan berdiri. Aku menatap cermin
yang menggantung di dinding. Panel EL yang terpasang di dinding dengan
jelas menampilkan tanggal dan waktu saat ini.
Senin, 19 Januari, 2025, 7:15 am.
Sua bulan telah berlalu sejak aku kembali ke dunia nyata, namun
aku masih tak bisa terbiasa dengan penampilanku. Meski pendekar pedang
Kirito dan Kirigaya Kazuto saat ini seharusnya memiliki penampilan sama,
kehilangan bobot tubuhku masih belum pulih, jadi tubuh yang hanya
tinggal tulang di bawah T-Shirt ku sangatlah rapuh.
Aku mendadak menyadari dua garis air mata bersinar di wajahku di cermin dan menyekanya dengan tangan kananku.
“Aku sudah kembali jadi orang cengeng...........Asuna.”
Aku bergumam dan berjalan ke jendela besar di sisi selatan
kamarku. Aku membuka korden dengan kedua tanganku, dan cahaya matahari
menyilaukan di pagi musim dingin mewarnai seluruh kamarku dalam kuning
pucat.
* * *
Kirigaya Suguha nampak sangat senang sembari ia berjalan sepanjang es di halaman depan dan kemudian mempercepat langkahnya.
Salju yang jatuh dua hari lalu belum meleleh sama sekali, dan pagi hari di tengah Januari terasa sangat dingin.
Dia berhenti di sudut sebuah kolam, yang tertutupi oleh lapisan es tipis, dan mengayunkan Shinai
[1]
di tangan kanannya ke bawah ke arah batang pinus di dekatnya. Untuk
mengusir rasa kantuk menyebalkan dari tubuhnya, dia mengambil beberapa
napas dalam, menempatkan kedua tangan di lututnya, dan memulai latihan
peregangannya.
Ototnya, yang belum bangkit secara penuh, perlahan mulai
mengendur. Usai meregangkan lutut, ia mulai merasakan sensasi seolah
darah mulai mengalir di lutut dan sikutnya.
Suguha merentang untuk mencapai ke bawah dengan kedua tangannya,
perlahan membengkokkan punggungnya – sampai dia perlahan berhenti. Es
lembut yang membentuk permukaa danau mencerminkan penampilannya kembali
padanya.
Rambut pendeknya, dipotong di atas alisnya dan segaris dengan
bahunya, berwarna hitam dengan semburat biru. Alisnya membagi warna
hitam yang sama dan kelihatan tebal, dimana dua mata yang terisi oleh
semangat tinggi terletak di bawahnya. Bersama, penampilannya nampak
seperti anak laki laki. Dogi
[2] putih tradisional dan hakama
[3] hitam panjang yang dia kenakan justru semakin menonjolkan kesan itu.
“--------Sudah kuduga......aku sama sekali tidak mirip......Onii-chan ku......”
Itu adalah pemikiran yang sering mengisi pikirannya pada hari
hari ini. Dia memikirkan hal itu kapanpun dia melihat wajahnya sendiri
di pintu masuk kamar mandi. Bukannya dia tak suka pada penampilannya;
toh sejak awal dia tak terlalu mempedulikan hal itu. Namun sejak
kakaknya Kazuto kembali ke rumah ini, pikirannya terus tanpa sadar
membuat perbandingan.
“---------Percuma saja, nggak peduli berapa kalipun aku memikirkannya.”
Suguha menggeleng kepala bandelnya dan melanjutkan peregangan.
Setelah ia selesai melakukan peregangan, ia mengambil shinai yang
diletakkan bersandar di pinus hitam. Dia menggenggamnya, merasakan
familiaritas dari telapak tangannya oleh pemakaiannya yang sudah lama;
kemudian dia meluruskan punggungnya dan memasang kuda kuda siaga.
Ia mengambil nafas dalam dalam sambil mempertahankan kuda kudanya
– Kemudian dalam sekejap, dengan semangat tajam, dia menikam lurus ke
depan dengan shinainya. Pergerakan tegasnya nampak seolah memotong udara
pagi, yang mengagetkan sejumlah burung gereja hingga mereka semua
terbang ke arah cabang jauh di depan sana.
Rumah keluarga Kirigaya adalah rumah Jepang kuno yang berdiri
sepanjang jalanan lama di Saitama selatan. Seluruh anggota keluarga
telah tinggal disini, karena kakek Suguha, yang sudah meninggal empat
tahun lalu, adalah orang yang sangat tegas dan bergaya jadul.
Dia bekerja di kepolisian selama beberapa tahun dan merupakan
praktisi kendo terkenal sepanjang masa mudanya. Dia berharap kalau putra
satu satunya, yang merupakan ayah Suguha, akan melanjutkan jejaknya
pada jalan kendo. Ayahnya sudah menguasai shinai sejak di bangku SMA,
namun kemudian berhenti melakukannya untuk belajar ke Amerika dan
akhirnya mendapat pekerjaan di perusahaan keamanan keuangan luar negeri.
Setelah dipindahkan ke cabang Jepang, dia bertemu dan menikahi ibu
Suguha Midori, namun melanjutkan kehidupan rutin dengan bepergian
sepanjang samudra pasifik. Pada saat itu, kakek Suguha telah mengarahkan
keinginannya pada Suguha dan Kazuto yang setahun lebih tua darinya.
Suguha dan kakaknya dibuat mengikuti kendo dojo di sebelah
rumahnya sepanjang di bangku SD. Namun karena pengaruh Ibunya sebagai
editor di majalah sistem komputer, kakaknya menyukai keyboard melebihi
shinai dan meninggalka dojo selama dua tahun. Namun, Suguha tak seperti
kakaknya. Ia telah menemukan ketertarikan pada kendo dan terus melatih
teknik shinainya bahkan setelah kakeknya meninggal.
Suguha saat ini berusia lima belas tahun. Tahun lalu, dia
berhasil terus maju dalam kompetisi SMP dan mendapat peringkat sebagai
salah satu pemain terbaik negara. Saat musim semi, ia telah direkrut
oleh salah satu SMA paling terkenal di prefektur.
Namun----
Di masa lalu, dia belum pernah kehilangan jalannya untuk terus
maju. Dia sangat menyukai kendo; bukan hanya karena bisa menjawab
harapan orang orang di sekelilingnya, namun juga membuatnya senang.
Namun dua tahun lalu, saat kakaknya terlibat dalam insiden yang
mengguncang seluruh Jepang, kegundahan menyerbu hatinya. Siapapun bisa
berkata kalau dia sangat menyesal. Bahkan sejak kakaknya menyerah dalam
kendo saat Suguha berusia tujuh tahun, celah yang lebar mulai terbentuk
diantara mereka berdua, dan Suguha sangat menyesal karena dia tak pernah
membuat usaha untuk menutup celah itu.
Kakaknya yang telah membuang shinai meluangkan harinya tenggelam
dalam komputer, seolah untuk memuaskan rasa dahaganya yang tersisa. Ia
membangun sebuah mesin dari bagian bagian kecil dan membantu ibunya
memprogramnya saat dia masih siswa sekolah dasar. Bagi Suguha, hal hal
yang Kazuto ucapkan seolah menjadi bahasa asing.
Tentu saja, sekolah juga mengajarkan Suguha untuk menggunakan
komputer, dan ia memiliki komputer mungil di kamarnya. Namun,
pengetahuannya tentang komputer hanya terbatas pada menukar email dan
browsing web; mustahil baginya untuk memahami dunia yang ditinggali
kakaknya. Ini khususnya adalah kasus bagi Game RPG network yang membuat
kakaknya kecanduan, dimana Suguha menganggap hal itu sebagai kesia
siaan. Sejak saat itu dia selalu memasang sikap palsu, namun dia merasa
mustahil untuk menjadi dekat dengan orang orang yang juga berinteraksi
dengan topeng palsu.
Semenjak masa kecilnya, Suguha dan kakaknya memiliki hubungan
yang seperti teman terbaik. Namun saat kakaknya meninggalkannya untuk
dunia yang sama sekali berbeda, Suguha mengubur rasa kesepiannya dengan
mencurahkan dirinya sepenuh hati pada kendo. Jarak diantara mereka
berdua terus melebar, dan percakapan sehari hari mereka terus jatuh;
sebelum Suguha menyadarinya, hubungan mereka telah jatuh menjadi seperti
tak saling kenal.
Namun jujur saja, Suguha terus menerus merasa kesepian. Dia ingin
berbicara lebih banyak pada kakaknya. Dia ingin memahami dunia
kakaknya, ingin kakaknya datang dan menonton pertandingannya.
Namun, tepat saat dia ingin mengungkapkan semua perasaan ini, insiden itu terjadi.
Insiden mimpi buruk bernama “SWORD ART ONLINE”. Sepuluh ribu
pemuda dari seluruh Jepang dikonfirmasi telah terkurung oleh sangkar
elektronik dan jatuh ke dalam tidur panjang.
Kakaknya telah dipindahkan ke rumah sakit besar di Saitama.
Kemudian, saat pertama kalinya Suguha datang untuk menjenguknya........
Saat ia melihat kakaknya yang koma, terbaring di atas ranjang
dengan sejumlah kabel dan tertutupi oleh head gear mengerikan, Suguha
tak kuasa menahan tangisnya. Itu adalah pertama kalinya dia menangis
semenjak lahir. Dia memeluk kakaknya erat erat dan menangis dengan
keras.
Mungkin tak akan ada kesempatan untuk berbincang bincang lagi
dengannya. Kenapa dia tak pernah mencoba menutup jarak diantara mereka
lebih cepat? Seharusnya itu tidaklah sulit; seharusnya hal itu bisa dia
lakukan.
Pada saat itulah dia mulai mempertimbangkan ulang dengan serius
apakah dia harus terus berlatih kendo dan apa perasaan sejatinya. Namun
dia begitu putus asa sampai tak mendapati jawaban. Sepanjang tahun
keempat belas dan kelima belas saat dia tak bisa melihat kakaknya,
Suguha telah memasuki SMA atas rekomendasi orang orang disekitarnya,
namun apakah dia harus terus menapaki jalan ini adalah keraguan dalam
hatinya yang takkan pernah lenyap.
Kalau kakaknya kembali, maka dia pasti akan banyak banyak
mengobrol dengannya. Dia akan membuang semua keraguan dan kecemasannya,
dan dengan jujur mengungkapkan semua isi pikirannya. Kemudian, dua bulan
lalu, setelah Suguha meneguhkan keputusannya, sebuah keajaiban terjadi.
Kakaknya telah mematahkan kutukan melalui kekuatannya dan kembali.
----------Namun pada poin itu, hubungannya dengan kakaknya sudah
berubah secara drastis. Suguha mendengar dari ibunya Midori secara
pribadi kalau Kazuto bukanlah kakak kandungnya, namun sebenarnya saudara
sepupu.
Ayahnya Minetaka adalah putra satu satunya, namun ibunya Midori
memiliki kakak perempuan yang meninggal lebih awal; namun, Suguha tak
mengetahui semua ini. Sehingga, saat Suguha menyadari kalau Kazuto
adalah putra kakak ibunya, dia menjadi semakin bingung dan tak yakin
hubungan jenis apa yang harus mereka pertahankan. Haruskah mereka lebih
jauh? Haruskah mereka tetap sama? Dia tak tahu bagaimana dia harus
mengungkapkan dirinya tentang hubungan ini.
“.....Ya. Ada satu hal, yang nggak akan berubah........”
Saat Suguha merenungkan semua ini, dia mengayunkan shinainya ke
bawah dengan tajam seolah untuk memotong semua rantai pemikirannya.
Terlalu menyeramkan untuk menjalani jalan pemikiran itu, jadi dia mulai
berlatih dengan shinainya untuk mengarahkan perhatiannya pergi ke tempat
lain.
Saat dia menyelesaikan jumlah set yang diperlukan, sudut matahari
pagi sudah berubah secara signifikan. Dia menyeka keringat di dahinya,
meletakkan shinai, dan berjalan kembali ke rumahnya.......
“Ah......”
Momen dia melihat ke arah pintu, langkah kaki Suguha tiba tiba membeku.
Dia tak sadar kalau Kazuto, yang mengenakan baju sweater dan
duduk di beranda, tengah melihat ke arahnya. Saat mata mereka bertemu,
Kazuto tersenyum dan berujar.
“Selamat pagi.”
Sambil mengatakan itu, ia melempar botol air mineral di tangan
kirinya pada Suguha. Suguha menangkapnya dengan tangan kanannya sebelum
merespon.
“S-Selamat pagi........astaga, kalau kamu terus menontonku, seharusnya kamu mengatakan sesuatu.”
“Tapi, kelihatannya kamu lagi berkonsentrasi dengan serius.”
“Nggak juga, aku memang selalu begini.”
Suguha diam diam merasa senang karena mereka bisa berbicara
dengan begitu alami terhadap satu sama lain selama dua bulan ini. Dia
memilih tempat di sisi kanan Kazuto yang menjaga sedikit jarak darinya
dan kemudian duduk. Meletakkan shinai di sisinya, ia membuka botol dan
menempatkannya di mulutnya; air dingin meresap ke tubuh panasnya dan
terasa sangat menyegarkan.
“Kulihat kamu terus melakukan itu sepanjang waktu ini.......”
Kazuto mengambil shinai Suguha dan mengayunkannya dengan ringan
dengan tangan kanannya dari posisi duduknya. Ia segera memiringkan
kepalanya ke sisi dan berkata:
“Ringan sekali......”
“Hah?”
Suguha mencabut botol dari mulutnya dan menatap Kazuto.
“Ini terbuat dari bambu asli, jadi sebenarnya cukup berat. Sekitar lima gram lebih berat dari yang buatan karbon.”
“Ah, uh uh. Itu......hanya perasaanku.......tapi kalau dibandingkan dengan.......”
Kazuto mendadak meraih botol dari tangan Suguha dan kemudian dengan cepat meminum semua isinya yang tersisa.
“Ah...........”
Wajah Suguha mulai memerah bahkan tanpa memikirkannya. Dia membulatkan pipinya dan berujar dengan tak senang.
“A-Apa yang kamu coba bandingkan?”
Kazuto meletakkan botol kosong di beranda dan kemudian berdiri tanpa menjawab.
“Hei, mau latih tanding denganku?”
Keheranan, Suguha menatap lurus ke wajah Kazuto.
“Maksudnya......pertandingan?”
“Ya.”
Kazuto mengangguk seolah itu hal biasa, biarpun dia sama sekali tak tertarik pada kendo.
“Bagaimana dengan alat pengaman.....?”
“Hmm, mungkin nggak masalah meski kita nggak
mengenakannya........namun akan gawat kalau Suguha sampai terluka.
Kupikir pengaman Kakek masih ada, jadi mari kita ke dojo.”
“Oooh.”
Suguha sama sekali melupakan keragu raguannya sejak tadi dan
bertanya tanya kenapa dia malah mengatakan hal semacam itu; dia
tersenyum dan berkata:
“Bukankah kamu terlalu percaya diri? Mencoba bertanding dengan finalis perempat nasional? Selain itu.......”
Ekspresi wajahnya kemudian berubah.
“Apa tubuhmu baik baik saja....? Kamu jangan ceroboh......”
“Hehe, akan kutunjukkan hasil dari latihan rehabilitasiku di gym.”
Kazuto tertawa kecil dan mulai berjalan dengan santai ke arah belakang rumah. Suguha buru buru mengikuti.
Rumah Keluarga Kirigaya cukup luas, dan sebuah dojo berdiri di
sisi timur kamar ibunya. Mereka mengikuti wasiat kakek dan tak
merubuhkannya, sehingga Suguha menggunakannya untuk latihan rutinnya,
mempertahankannya dengan teliti, dan menyimpan semua perlengkapan
disana.
Mereka berdua memasuki dojo dengan telanjang kaki, membungkuk
satu sama lain, dan mulai mempersiapkan diri mereka masing masing.
Beruntungnya, fisik kakeknya hampir sama dengan Kazuto; alat pelindung
yang mereka keluarkan nampak tua namun pas dipakai. Setelah mereka
selesai mengikat simpul headgear di saat yang sama, keduanya berjalan ke
arah tengah dojo dan membungkuk satu sama lain sekali lagi.
Suguha perlahan berdiri dari posisi menundukkan badannya,
menggenggam shinai favoritnya erat erat, dan mengambil posisi tegas.
Sementara itu, Kazuto—
“A-Apa itu, Onii-chan?”
Usai melihat kuda kuda Kazuto, Suguha tanpa sadar tergelak. Aneh
adalah satu satunya cara untuk mendeskripsikannya. Kaki kirinya
dimajukan setengah tubuh ke depan, pinggangnya direndahkan, dan shinai
di tangan kanannya dipegang kebawah dengan ujungnya nyaris menyentuh
lantai. Tangan kirinya seolah olah memegang gagang shinai sekedar untuk
penampilan.
“Kalau ada wasit disini, dia pasti akan marah melihat posisimu.”
“Nggak masalah, ini gaya pedangku.”
Suguha mengambil nafas dalam dan membenahi ulang posisinya.
Kazuto semakin memperlebar jarak diantara kakinya dan menurunkan pusat
gravitasinya.
Suguha berpikir untuk menyerbu maju dengan kekuatan penuh untuk
mendaratkan serangan kuat ke arah lawannya. Namun kuda kuda aneh Kazuto
membuatnya tak yakin harus berbuat apa. Meski ada celah, tak mudah
memanfaatkan celah itu. kuda kuda itu nampak seperti hasil dari
pengalaman bertahun tahun—
Namun, itu tidak mungkin. Kazuto hanya memegang shinai selama dua
tahun saat dia berumur tujuh dan delapan tahun. Dia hanya bisa
mempelajari dasar dasar teknik selama waktu itu.
Seolah menyadari kebingungan Suguha, Kazuto mendadak mulai
bergerak. Dia menyerbu dalam sudut rendah seolah dia meluncur dan
shinainya melompat ke atas dari bagian kanan bawahnya. Itu bukan
kecepatan yang perlu dikejutkan, namun karena itu adalah serangan tiba
tiba, Suguha harus bergerak secara refleks. Dan dengan kaki kanannya
terbuka lebar—
“Kote!!”
[4]
Suguha mengayun kebawah ke lengan kiri bawah Kazuto. Seharusnya
itu waktu yang sempurna, namun serangannya hanya menebas udara kosong.
Itu adalah elakan yang sulit dipercaya. Kazuto telah melepaskan
tangan kirinya dari gagang shinai, dan melemparnya ke arah tubuhnya. Apa
itu mungkin dilakukan? Ditargetkan pada Suguha, yang dibuat terkejut,
shinai yang dipegang oleh tangan kanan Kazuto sendiri menyerbu ke depan.
Kebingungan, Suguha dengan panik mengelak.
Di saat keduanya bertukar posisi, telah menolehkan kepala untuk
menghadap satu sama lain sambil mereka mengambil jarak lagi, kesadaran
Suguha telah berubah drastis. Ketegangan menyenangkan mengisi seluruh
tubuhnya, seolah darahnya mendidih. Kali ini, giliran Suguha untuk
menyerang. Teknik andalannya, serangan lengan bawah—
Namun kali ini juga, Kazuto berhasil mengelak dengan lincah. Dia
menarik lengannya ke belakang, memutar tubuhnya, dan membiarkan shinai
Suguha untuk lewat dengan jarak setipis kertas. Suguha lagi lagi
kebingungan. Serangan berkecepatan tingginya sangat diakui di dalam
klub, dan dia tak ingat adegan dimana seseorang berhasil mengelak dari
semua serangan berturut turutnya.
Menjadi serius, Suguha memulai serangan gencar. Dia menikamkan
ujung shinai secara terus menerus. Menyerang lebih cepat dari nafas
seseorang. Namun Kazuto terus mengelak dan mengelak. Pergerakan cepat di
mata Kazuto membuatnya seolah dia sudah memahami semua pergerakan
shinai Suguha.
Jengkel, Suguha dengan paksa menutup jarak dan mengunci shinainya
ke arah kazuto. Menghadapi kaki dan tubuh Suguha yang sudah terlatih,
Kazuto mulai terhuyung huyung di bawah tekanan luar biasa. Tanpa
membiarkannya kabur, Suguha merebut momen untuk melancarkan serangan
penghabisan yang diarahkan secara langsung ke kepala Kazuto.
“Men!!”
[5]
‘Ah’, Suguha terlambat menyadari satu momen. Dia sama sekali tak
menahan diri dalam menyerang, dan shinainya menghantam dengan keras ke
topeng logam di head gear pelindung Kazuto. Bashiin! Suara tumbukan
bernada kuat menggema sepanjang dojo.
Kazuto terus terhuyung huyung ke belakang selama beberapa langkah sampai dia akhirnya berhenti.
“K-Kamu baik baik saja, Onii-chan?”
Suguha bertanya dengan panik. Kazuto dengan ringan mengibaskan tangannya untuk menunjukkan kalau dia tak apa apa.
“.....Ah, aku kalah. Sugu memang kuat; Heathcliff sama sekali bukan bandinganmu.”
“.....Apa kamu betul betul nggak apa apa....?”
“Ya. Pertandingan selesai.”
Setelah mengatakan itu, Kazuto mengambil beberapa langkah mundur
dan kemudian membuat beberapa gerakan yang lebih aneh lagi. Dia
mengayunkan shinai di tangan kanannya ke kiri dan ke kanan, kemudian
memegangnya di punggungnya dan membuat suara “hyuhyun”. Setelah itu, dia
meluruskan punggungnya dan menggaruk kepala di balik topengnya dengan
tangan kirinya, yang membuat suara bergeretak. Semua ini membuat Suguha
sangat cemas.
“Ah, kepalamu terpukul, jadi......”
“B-Bukan! Ini hanya kebiasaan lama....”
Setelah mereka membungkuk satu sama lain, Kazuto duduk dalam postur formal dan mulai melepas simpul di pelindungnya.
Mereka berdua meninggalkan dojo bersama, menuju ke ruang cuci,
dan membersihkan keringat di wajah mereka. Suguha awalnya hanya ingin
main main; dia tak pernah menduga akan berubah jadi serius dan membuat
seluruh tubuhnya kelebihan panas.
“Yang jelas, aku benar benar kaget. Onii-chan, dimana kamu berlatih?”
“Eh, pola seranganku itu.......sepertinya teknik pedangku nggak bisa diatur tanpa panduan sistem.”
Sekali lagi, Kazuto menggumamkan sesuatu yang sama sekali tak masuk akal.
“Namun itu sangat menyenangkan, mungkin aku harus mencoba kendo lagi.....”
“Sungguh!? Sungguh!?”
Suguha tiba tiba menjadi enerjik karena senyum lebar merentang di wajahnya dan dia mulai mengharapkan respon.
“Sugu, maukah kamu mengajariku?”
“Te, tentu saja! Kita pasti akan berlatih bersama!”
“Tapi nampaknya kita harus menunggu sampai otot ototku benar benar pulih.”
Kazuto mengangguk, dan Suguha tersenyum sepenuh hati. Berpikir
untuk berlatih kendo sekali lagi membuatnya begitu bahagia sampai air
mata menetes dari matanya.
“Hei......Onii-chan....aku.....”
Meski Suguha tak paham kenapa Kazuto kembali tertarik pada kendo,
dia masih merasa senang, dan juga ingin memberitahunya tentang hobi
barunya. Namun, dia dengan cepat mengubah pikirannya dan menelan kata
kata yang hendak dia ucapkan.
“Hm?”
“Emm, kurasa harus tetap kurahasiakan untuk sekarang.”
“Ada apa denganmu?”
Mereka berdua mengeringkan kepala mereka dan kemudian kembali ke
rumah utama melalui pintu belakang. Ibunya Midori selalu bekerja di pagi
hari, jadi Suguha dan Kazuto bergiliran dalam menyiapkan sarapan.
“Aku mau mandi dulu, Onii-chan apa kamu ada rencana untuk hari ini?”
“Ah.....hari ini, aku.......aku mau ke rumah sakit.......”
“.....”
Semangat tinggi Suguha mendadak tenggelam usai mendengar respon tenangnya.
“Begitu, kamu akan mengunjungi orang itu.”
“Ah.....hanya itu hal yang bisa kulakukan pada poin ini.”
Orang itu adalah orang yang paling penting baginya di dunia lain,
dan Suguha mendengar ini secara langsung darinya satu bulan yang lalu.
Pada saat itu, Suguha berada di kamar Kazuto; keduanya duduk
bersebelahan, dan Kazuto tengah meneguk secangkir kopi sambil ia
menjelaskan semua rinciannya. Suguha yang sebelumnya tak akan pernah
percaya kalau orang orang bisa jatuh cinta di dunia virtual. Namun
sekarang, dia akhirnya bisa memahami. Selain itu – kapanpun Kazuto
berbicara tentang orang itu, air mata selalu berlinang di pipinya.
Kazuto berkata kalau mereka masih bersama sampai saat terakhir.
Mereka berdua pasti akan kembali ke dunia nyata bersama. Namun ketika
kesadaran Kazuto pulih, orang itu masih tetap tertidur. Tak ada apapun
terjadi – atau mungkin sesuatu terjadi namun tak ada yang menyadarinya.
Semenjak saat itu, selama Kazuto punya waktu, dia akan mengunjungi rumah
sakit setiap tiga hari untuk menjenguk orang itu.
Suguha bisa melihatnya dengan jelas. Kazuto, duduk di depan orang
yang tertidur itu, memegang tangannya seolah mereka pernah saling
berpengangan tangan, saling memanggil dengan tanpa lelah. Segera setelah
ia memvisualkan gambaran itu, perasaan yang tak bisa dijelaskan terasa
mengapung di atas hatinya. Dadanya terasa sakit dan sesak, dan setiap
nafas terasa berat. Dia memeluk dirinya dengan erat dengan kedua
tangannya dan secara langsung duduk di tempatnya berada.
Dia ingin Kazuto tetap tersenyum. Sejak dia kembali dari dunia
itu, Kazuto menjadi lebih terbuka dari sebelumnya. Dia mulai banyak
mengobrol dengan Suguha. Sifatnya bahkan menjadi lebih lembut dan tak
lagi membuat tuntutan yang aneh aneh. Rasanya mereka kembali ke masa
anak anak mereka. Sehingga Suguha menyadari betapa pentingnya orang itu
saat dia melihat air mata kakaknya. Pada poin itu ia mulai membujuk
dirinya.
“--------Tapi aku, aku, aku sudah menyadari......”
Saat Kazuto menutup matanya untuk mengenang tentang orang itu,
Suguha merasa seolah hatinya tak bisa berhenti kesakitan, seolah dia
mati matian berusaha menyembunyikan perasaan yang lain.
Saat dia melihat Kazuto menuangkan susu ke gelas di meja dan
kemudian meneguknya, Suguha berbisik pada dirinya sendiri di dalam
hatinya.
“--------Hei, Onii-chan, aku, aku sudah tahu.”
Sebelumnya saudara kandung sekarang sudah jadi sepupu; namun Suguha tak paham kenapa berakhir seperti ini.
Namun sesuatu memang berubah. Meski dia tak terlalu memikirkan
hal itu sampai saat ini, rahasia kecil terus berkedip kedip dalam
hatinya.
Mungkin saja dia menyukai Onii-chan; namun kalau harus seperti ini, itu juga tak apa apa.
* * *
Setelah mandi, aku mengganti pakaianku dan pergi naik sepeda yang baru
aku beli sekitar satu bulan lalu. Dengan sepeda, 15 kilometer menuju
tujuanku terasa cukup jauh, namun beban itu cukup baik untuk tubuhku
yang masih dalam pemulihan.
Perjalananku akhir akhir ini membawaku ke rumah sakit yang baru dibangun di pinggiran kota Tokorozawa, prefektur Saitama.
Bangsal teratas dari rumah sakit, lokasi dimana dia berbaring dengan tenang.
Dua bulan lalu, di puncak lantai ke-75 dari «Aincrad», aku telah
mengalahkan boss akhir «Holy Sword» Heathcliff, dan dengan melakukan itu
berhasil menyelesaikan Game. Setelah itu, aku terbangun di kamar rumah
sakit. Beserta itu, aku mendapati diriku kembali ke dunia nyata.
Namun dia, partnerku, orang terpenting bagiku, Asuna sang «Flash», ternyata tidak bangun.
Tak ada banyak kesulitan untuk bertanya tentang dia. Tak lama
setelah aku tersadar di rumah sakit Tokyo, aku meninggalkan kamar rumah
sakit, berjalan jalan dengan langkah tak stabil, dan segera ditemukan
oleh perawat yang membawaku kembali. Beberapa menit kemudian, seorang
pria berjas datang terburu buru mendatangiku sambil terengah engah. Dia
menyatakan dirinya sebagai perwakilan dari «Kementrian Dalam Negeri –
Divisi Tindakan Balasan SAO».
Organisasi dengan nama besar itu nampaknya dibentuk akhir akhir
ini segera setelah insiden SAO berlangsung, namun dalam dua tahun itu,
tak ada yang mereka bisa lakukan. Namun, itu juga tak terhindarkan.
Kalau mereka dengan ceroboh mengutak atik server, tanpa membatalkan
program perlindungan yang dibuat oleh programmer Kayaba Akihiko, dalang
dari insiden ini, maka otak dari sepuluh ribu orang akan hancur. Tak ada
yang bisa memikul tanggung jawab itu.
Mengumpulkan anggota, mereka membuat persiapan untuk
mengobservasi baik baik status para korban yang berbaring di rumah
sakit. Satu harapan mereka – secercah cahaya kecil, namun tugas yang
berat – adalah mensurvei informasi pemain melalui data server.
Sehingga mereka mengikuti perkembanganku yang berada di garis
depan, memperhitungkan level, posisi, dan peranku sebagai pemain vital
dalam «Capture Group» yang mencoba menyelesaikan Sword Art Online.
Sehingga, saat para pemain SAO mulai bangkit di seluruh negara, para
agen Kementrian mulai menyerbu ke kamarku, berharap bisa memahami apa
yang baru terjadi.
Aku mengungkapkan kondisiku pada pihak pemerintah dengan orang
orang berkacamata hitam yang berada pada pandanganku. Aku akan beritahu
mereka semua yang aku tahu. Sebagai gantinya, mereka akan memberitahuku
semua yang aku ingin tahu.
Hal yang ingin kuketahui tentu saja tentang keberadaan Asuna.
Setelah beberapa menit menelepon, pria berkacamata menoleh padaku dan
berbicara, kebingungan nampak jelas di wajahnya.
“Yuuki Asuna telah dipindahkan ke institusi medis lain di
Tokorozawa. Namun, dia belum bangun.......dan bukan dia saja, 300 pemain
lain sepanjang negara juga belum terbangun.”
Awalnya mereka berpikir kalau ini hanyalah hasil dari spike lag yang
terjadi pada server. Namun, jam telah berubah menjadi hari dengan Asuna
dan yang lainnya tak juga terbangun.
Benar atau tidaknya rencana Akihiko Kayaba yang menghilang masih
berlanjut menimbulkan kekacauan sepanjang dunia, namun pandanganku
justru sebaliknya. Aku masih mengingat kehancuran Aincrad, yang
diselimuti oleh matahari tenggelam berwarna merah.
Dia benar benar telah mengatakannya. Dia akan melepaskan semua
pemain yang tersisa. Lebih jauh lagi, dia tak memiliki alasan untuk
berbohong. Dia benar benar sudah membiarkan dirinya lenyap bersama dunia
itu, aku sangat mempercayai hal itu.
Namun, entah itu insiden tak terduga atau adanya campur tangan
dari seseorang, sever SAO, yang seharusnya sudah direset/diformat ulang,
terus beroperasi. Nerve Gear Asuna juga bukan perkecualian, mengikat
jiwanya kedalam dunia itu. Apa yang terjadi di dalam sana, aku tak tahu,
tapi kalau......kalau.....kalau saja aku bisa kembali ke dunia itu
sekali lagi—
Kalau Suguha tahu apa yang kulakukan saat itu, dia pasti akan
marah. Usai meninggalkan pesan, aku memasuki kamarku dan memasang Nerve
Gear dan memulai client SAO. Namun, sebuah pesan error dengan dingin
muncul di hadapan mataku, «Error: Tak bisa tersambung pada server».
Sekali rehabilitasku selesai, kebebasanku dalam bergerak sudah
pulih kembali, dan dari saat itu sampai sekarang, aku terus menerus
menengok Asuna.
Itu adalah waktu yang sulit bagiku. Perasaan dari seseorang yang
lebih penting dari siapapun direbut secara tak beralasan dariku terasa
sangat menyakitkan dari luka fisik atau mental apapun. Bahkan lebih
menyakitkan bagi aku yang sekarang, yang tak ubahnya anak kecil tak
berdaya.
Melanjutkan perjalanan 40 menit, mengayuh dengan lamban, aku
keluar ke jalan utama dan berbelok ke jalan berbukit yang berangin. Tak
lama kemudian, bangunan besar muncul di depanku. Itu adalah insitusi
medis yang diatur secara pribadi, dan tampak bagai karya seni.
Penjaga keamanan di pintu masuk, sekarang sudah menjadi wajah
familiar, tak lagi menanyakan alasan kedatanganku. Aku memparkir
sepedaku di sudut parkiran besar. Di meja resepsi lantai pertama, yang
memiliki penampilan seperti lobi kelas tinggi, aku diberi tanda masuk
pengunjung. Aku menempelkannya di dadaku dan masuk ke dalam elevator.
Dalam beberapa detik, aku mencapai lantai teratas, lantai 18, dan
pintu perlahan terbuka. Aku berjalan ke arah selatan sepanjang koridor
kosong. Lantai ini memiliki banyak pasien jangka panjang, namun melihat
orang lain disini adalah kejadian langka. Akhirnya, di sudut koridor,
pintu berwarna hijau pucat tampak olehku. Ada sebuah lempeng nama
tertempel di dinding di sebelah pintu.
«Yuuki Asuna», dibawah nama itu terdapat celah penggesek tipis,
tempatku menggesekkan tanda pengenal. Aku melepas tanda masuk dari
dadaku dan meluncurkannya sepanjang celah itu. Pintu bergeser membuka
dengan suara elektronik kecil.
Melangkah ke dalam ruangan, aku terselimuti oleh aroma bunga
menyegarkan. Bunga bunga segar yang tak cocok dengan musim dingin nampak
menghiasi ruangan. Interior di dalam kamar rumah sakit yang luas ini
ditutupi oleh korden, yang dengan perlahan kumasuki.
“Mohon izinkan dia bangun—“
Aku menyentuh kain, berdoa untuk keajaiban dan dengan lembut membuka korden ruangan.
Unit perawatan intensif tanpa akhir yang terpasang pada tubuhnya
sama denganku – bahkan kasurnya juga sama. Cahaya matahari sedikit
menyinari selimut putih, dan jatuh dengan lembut di wajah Asuna. Kalau
aku tak tahu apa apa, aku pasti menganggap kalau dia hanya tertidur.
Saat aku pertama berkunjung, aku memiliki pemikiran ini: akankah
dia tak setuju kalau aku melihatnya seperti ini? Kekhawatiran itu sudah
berlalu sejak dulu. Wajahnya nampak sangat cantik.
Rambut kastanye tua indahnya, tergerai seperti air di kasur putih
disekitarnya; kulit putih pucatnya, dengan semburat warna mawar di
bibirnya.
Dari leher sampai tulang selangkanya, fiturnya nampak sama persis
dengan yang terlihat di dunia itu. Bibir berwarna cherry muda. Alis
panjangnya, bergetar seolah mereka akan membuka kapan saja. Kalau saja
bukan karena helm itu, itu saja.
Nerve Gear. Tiga cahaya LCDnya yang berkilau dengan pucat berkelap
kelip seperti bintang, bukti kalau ia masih beroperasi. Bahkan sekarang,
jiwanya masih terjebak dalam suatu dunia. Aku menggenggam tangan kanan
mungilnya dengan kedua tanganku, merasakan kehangatannya. Perasaan dari
genggaman lembutnya terasa sama seperti sebelumnya. Aku menahan nafasku,
mati matian menahan air mata yang hendak tumpah.......
“Asuna........”
Suara dering jam alarmnya membawaku kembali pada realita. Tanpa kusadari, waktu sudah tengah hari.
“Aku harus pergi, Asuna. Aku akan segera datang kembali.”
Aku kemudian mendengar suara pintu masuk yang bergeser membuka,
dan aku mengalihkan perhatianku pada dua pria yang memasuki bangsal.
“Oh, Kirigaya-kun. Maaf sudah mengganggu.”
Seorang pria yang lebih tua berdiri di depannya dengan ekspresi
wajah kalem, sambil memasukkan kartu di tangannya ke sakunya. Dari fisik
dan penampilannya, dia nampak seperti pria yang bersemangat dan percaya
diri, namun rambut abu abunya adalah hasil dari dua tahun mencemaskan
putrinya. Ini adalah Ayah Asuna, Yuuki Shozou. Aku sudah mengetahui dari
Asuna sebelumnya kalau ayahnya adalah pengusaha, namun itu tak
membuatku terkejut sampai aku mengetahui bahwa dia adalah CEO dari
perusahaan elektronik «RECTO».
Aku sedikit membungkukkan kepalaku dan berbicara.
“Hallo. Maaf sudah mengganggu, Yuuki-san.”
“Tak apa, tak apa. Melihatmu selalu datang seperti ini,
seharusnya aku yang minta maaf. Aku yakin kalau anak itu pasti sangat
senang.”
Dia berjalan ke bantal Asuna, dengan lembut membelai rambutnya
sambil menatap sedih pada wajah Asuna. Tak lama kemudian, dia
memperkenalkan pria yang berdiri di belakangnya.
“Ini adalah orang baru. Ia adalah direktur dari institut penelitian kami, Sugou-kun.”
Kesan pertamaku tentangnya adalah positif. Ia bertubuh tinggi,
mengenakan jas abu abu gelap, dengan sepasang kacamata berbingkai kuning
yang diseimbangkan diatas jembatan hidungnya. Matanya tersembunyi
dibalik lensa tipisnya, dan senyum lembutnya menyempurnakan semua imej
itu. Aku membayangkan kalau dia mungkin berumur 30-an.
Dia mengulurkan tangannya sambil berkata.
“Senang bertemu denganmu. Aku Sogou Nobuyuki. Kamu pasti sang Pahlawan Kirigaya-kun itu.”
“Kirigaya kazuto. Senang bertemu anda.”
Aku menjabat tangan Sogou dan menolehkan kepalaku untuk melirik
arah Yuuki Shozou, tangannya menopang kepalanya yang agak sedikit jatuh.
“Tentang itu, maaf. Server SAO sudah ditutup. Insiden ini hampir
seperti yang sering kamu lihat di TV. Dia adalah putra paling
terpercayaku. Untuk sementara waktu ini, dia masih belum membuat kontak
dengan keluarga.”
“Presiden, masalah ini adalah—“
Sogou melepaskan tangannya, dan menoleh pada Shouzou untuk berbicara.
“Bulan depan, saya ingin memberitahu semua orang.”
“Begitukah? Tapi apa tak apa apa? Kau masih muda, hidupmu baru saja dimulai......”
“Saya sudah berubah pikiran. Saya ingin mengambil keuntungan di
saat ini ketika Asuna masih cantik......dan membuatnya mengenakan gaun
pengantin.”
“Sepertinya kau sudah memikirkan hal itu masak masak.”
“Kalau begitu, aku permisi dulu. Sampai jumpa Kirigaya-kun.”
Dia menganggukkan kepalanya, berbalik dan berjalan keluar dari
pintu, menutup pintu di belakangnya. Satu satunya lelaki yang tersisa di
ruangan ini hanya Sogou dan aku.
Sogou Nobuyuki perlahan bergerak ke sisi ranjang, berdiri
berlawanan dariku. Dia membelai rambut kastanye Asuna, membuat suara
kecil saat tangan kanannya bergerak sepanjang rambutnya. Hal itu
membuatkua merasa agak jijik.
“Saat kau berada dalam Game, kau hidup bersama Asuna, kan?” Ujar Nobuyuki-san.
“.....uhm......”
“Kalau begitu, maka hubungan diantara kita mungkin agak rumit.”
Sogou melihat ke atas, dan kami membuat kontak mata. Pada saat
itu, aku menyadari kalau kesanku terhadap pria ini tak mungkin terlalu
jauh dari kebenaran.
Melalui kacamata tipisnya, pupil kecilnya memberiku kesan seorang
sanpaku, bibir meruncing dalam senyuman. Itu semua memberikan perasaan dingin tak berperasaan. Keringat dingin menetes di punggungku.
“Tentang yang baru kukatakan.......”
Sugou memasang senyum bosan.
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
Aku tak bisa memahami kata katanya. Apa yang dia baru katakan?
Ucapan Sugou membuat seluruh tubuhku diserbu perasaan dingin. Setelah
beberapa saat kesunyian, aku akhirnya berkata,”Apa kau pikir aku akan
membiarkanmu lolos dengan itu?”
“Oh, sudah tentu. Untuk menerima persetujuannya dalam kondisi
semacam ini akan cukup mustahil. Di atas kertas, aku adalah putra adopsi
dari keluarga Yuuki. Namun kenyataannya, dia sudah cukup lama
membenciku.”
Jemari Sugou mendekati bibir Asuna.
“Hentikan!”
Aku tanpa sadar menggenggam tangan Sugou, menjauhkannya dari wajah Asuna.
Merasa marah, aku berteriak “Brengsek kau.....kau berani memanfaatkan kondisi Asuna!?”
“Memanfaatkan? Bukan bukan, ini masih di dalam batas. Jujur saja,
Kirigaya-kun. Apa kau tahu yang terjadi pada perusahaan SAO, «Argas»?”
“Kudengar mereka bangkrut.”
“Benar. Biaya pengembangan, serta biaya semua kerugian yang
membuat mereka berhutang banyak, dan perusahaan itu akhirnya bangkrut.
Sehingga, perawatan server SAO sekarang dibawah tanggung jawab
departemen teknologi FullDive RECTO. Lebih tepatnya, departemenku.”
Dari sisi lain ranjang, Sugou menoleh untuk menatapku. Memasang senyum iblis, dia bergerak mendekat ke pipi Asuna.
“Anggap saja begini, dia masih hidup karena aku mengizinkannya.
Sehingga, tidakkah menurutmu aku pantas mendapat balasan untuk semua
kerja kerasku? Apa aku salah?”
Mendengar hal itu hanya memperkuat penolakanku.
Pria ini ingin memanfaatkan situasi Asuna, memakai hidupnya demi ambisi pribadinya sendiri.
Berbalik dan berdiri, melihat dengan tegas ke arahku, senyum lenyap dari wajahnya. Dengan nada dingin, dia berbicara padaku.
“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu dan Asuna dalam Game, tapi
aku ingin kau enyah dari hidupnya dari sekarang. Kuharap kau tak membuat
kontak masa depan dengan Yuuki dan keluarganya.”
Aku meremas tinjuku, marah pada ketidakmampuanku untuk berbuat sesuatu. Aku merasa begitu payah.
Beberapa momen kesunyian berlalu. Kemudian, Sugou berbicara dengan nada menghina.
“Upacara pernikahan akan diselenggarakan minggu depan tepat
disini di bangsal ini. Kuharap kau akan datang. Hargailah pertemuan
terakhirmu ini,
Pahlawan-kun.”
Aku ingin pedang. Aku akan menembus jantungnya dan merobek
dadanya. Aku tak tahu apa dia bisa melihat kemarahan dalam diriku, tapi
dia menepuk nepuk bahuku, berbalik dan dengan santai meninggalkan
ruangan.
Saat aku pulang, memori pertemuan kami masih terasa segar dalam
pikiranku. Aku berbaring di ranjangku dan menatap dinding dalam
kegelisahan.
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
“Dia masih hidup karena aku mengizinkannya.”
Pertemuanku dengan Sugou terus terulang dan terulang dalam
kepalaku, seperti film yang tiada habisnya. Hatiku terasa seperti
gumpalan logam yang memerah membara.
Namun----------Ini semua mungkin karena rasa kesadaran diriku yang terlalu kuat.
Sugou adalah orang yang selalu paling dekat pada keluarga Yuuki.
Ini juga alasan dia bisa menjadi tunangan Asuna. Dipercaya sepenuh hati
oleh Yuuki Shouzou, dia juga membawa tanggung jawab besar pada Recto.
Asuna mungkin diatur untuk menikah dengan pria ini jauh sebelum kami
bertemu di Aincrad. Dibandingkan dia, waktu kami bersama mungkin tak
lebih dari ilusi. Penghinaan karena harus menyerahkan Asuna demi hasrat
pria itu, yang menurutku, tak ubahnya lelucon anak anak.
Bagi kami, kota terapung Aincrad adalah dunia nyata. Sumpah yang
telah kami buat disana, kata kata, semuanya berbinar dengan
kecemerlangan seperti berlian.
“Aku ingin tetap di sisi Kirito selamanya-------“
Kata kata dan senyum Asuna dengan perlahan melintasi pikiranku.
“Maafkan aku.......maafkan aku, Asuna......aku tak bisa berbuat apa apa.”
Air mata kesedihan mengalir di pipiku,
potsu,
potsu ke atas tinjuku yang tergenggam.
* * *
“Onii-chan, kamar mandinya sudah kosong!”
Suguha berteriak ke kamar Kazuto, yang terletak di lantai kedua, namun tak ada respon.
Sore itu, setelah kembali dari rumah sakit, Kazuto terus mengunci
dirinya di dalam kamar, tak mau turun bahkan untuk makan malam.
Suguha menempatkan tangannya di kenop pintu, namun ragu ragu.
Kalau dia belum tertidur maka mungkin dia terkena demam, pikir Suguha,
memperkuat keyakinannya sambil memutar gagang pintu.
Kacha--. Pintu terbuka dan menampakkan ruangan gelap.
Dia pasti sedang tertidur, pikir Suguha, dan saat dia hendak
berbalik meninggalkan ruangan, embusan udara angin terasa sedikit
bertiup, membuatnya menggigil. Jendela nampaknya terbuka. Sepertinya tak
ada cara lain, pikirnya, sambil menggeleng kepalanya.
Dia berjalan berjingkat jingkat sepanjang ruangan, menuju ke arah
jendela......hanya untuk mendapati kakaknya tengah meringkuk di atas
ranjang, dengan kondisi masih bangun.
“Ah, Onii-chan, maaf. Kukira kamu sudah tidur.” Adalah respon gugup Suguha.
Setelah beberapa momen kesunyian, Kazuto membalas dalam suara tanpa emosi, “Maaf, tapi bisa tolong biarkan aku sendiri?”
“Tapi, tapi, ruangan ini terasa dingin.....”
Suguha mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Kazuto. Tangannya terasa dingin bagai es.
“Ini nggak bagus. Tanganmu membeku; kamu akan demam kalau begini. Lekaslah mandi.”
Sejumlah cahaya menembus masuk melalui korden dari lampu jalanan,
menyinari wajah Kazuto. Pada momen ini, Suguha menyadari sesuatu yang
telah terjadi pada kakaknya.
“Apa yang terjadi?”
“Bukan apa apa.”
Balasannya seperti bisikan yang tercekik.
“Tapi.....”
Tanpa menunggu Suguha selesai bicara, Kazuto mengubur wajahnya di
kedua tangannya. Menyembunyikan dirinya dari Suguha, dan dengan tanda
penistaan diri, dia berkata, “Aku sungguh tak berguna. Belum begitu lama
saat aku bersumpah untuk tak lagi mengatakan kata kata kekalahan
semacam itu.......”
Di tengah kata katanya, Suguha sudah menyadari apa yang telah
terjadi. Berbicara dengan suara pelan dan bergetar, dia bertanya “Orang
itu.......Asuna-san.....apa yang terjadi padanya?”
Tubuh Kazuto mengejang. Dalam suara pelan, terisi rasa sakit, dia
menjawab, “Asuna.....telah pergi entah kemana......tempat yang jauh.
Tempat.....dimana tanganku tak bisa menjangkaunya......”
Kali ini Suguha merasa jelas. Melihat Kazuto, yang menangis seperti anak anak di depannya, hati Suguha tersentuh.
Ia menutup jendela, menutup korden, dan menyalakan pemanas
ruangan, kemudian duduk di sisinya. Ia ragu ragu untuk sesaat, sebelum
menggenggam tangan dingin Kazuto lagi. Tubuh meringkuk Kazuto nampak
rileks dalam sekejap.
Suguha berbisik di telinganya.
“Jangan sedih. Kalau dia memang sangat kamu cintai, kamu tak boleh menyerah semudah itu.”
Kata kata itu tak datang dengan mudah, dan mengucapkannya,
hatinya seolah telah teriris oleh pedang. Perasaan dari jauh di dalam
hatinya melahirkan rasa sakit ini. Aku menyukai Kazuto Onii-chan, adalah
perasaan yang datang menerpa Suguha kali ini.
“---------Aku juga. Aku tak bisa membohongi diriku lagi.”
Suguha menopang kakaknya, dengan lembut menurunkannya ke
ranjangnya. Mengambil selimut ranjangnya, ia dengan lembut menaruhnya di
atas tubuh Kazuto.
Berapa lama dia memeganginya, dia sendiri tak tahu, namun
tangisan kesedihan Kazuto mulai menjadi suara tidur penuh damai. Suguha
menutup matanya, hatinya perlahan berbisik pada dirinya.
“—Satu satunya pilihanku adalah menyerah. Yang bisa kulakukan hanyalah mengubur perasaan ini jauh, jauh di dalam hatiku.”
Karena di dalam hati Kazuto,
dia sudah ada disana.
Air mata perlahan mengalir di pipi Suguha, kemudian jatuh ke seprai ranjang, sebelum akhirnya lenyap dengan cepat.
* * *
Tidurku yang manis dan nyaman terganggu oleh rasa hangat yang tiba tiba.
Aku masih belum benar benar bangun, namun ada kehangatan aneh
mengalir padaku, seperti cahaya matahari yang menembus cabang pohon,
membelai pipiku.
Mataku tertutup, dan aku memeluk sosok tidurnya. Kami berada
sangat dekat sampai aku bisa merasakan nafasnya, jadi aku membuka
sedikit mata—
“Uwwahh!?”
Aku segera berteriak, dan melompat sekitar lima puluh senti.
Tubuhku terlempar dalam posisi duduk, dan dengan cepat melihat ke
sekeliling.
Inilah yang selalu kulihat dalam mimpiku. Aincrad, lantai kedua puluh dua dari hutan rumahku – mustahil.
Bagian dari realita ada disini, kamarku dan ranjangku. Namun, selain aku, ada orang lain disini.
Aku dibuat membisu. Usai bangun secara penuh, aku dengan cepat
bangun dan meletakkan selimut kembali di tempatnya. Dengan rambut hitam
pendeknya, alis tebalnya, Suguha berbaring dalam piyamanya, tertidur di
atas bantalku.
“Kenapa.....kenapa ini......”
Setelah berpikir baik baik, aku akhirnya ingat apa yang terjadi
tadi malam. Benar sekali, tadi malam setelah kembali dari rumah sakit,
nampaknya aku sempat berbicara sedikit dengan Suguha. Diantara
keputusasaan dan rasa sakit yang membuatku menangis, dia menghiburku,
dan akhirnya, aku tertidur.
“Astaga, seperti anak kecil saja.”
Setelah merasa sedikit malu, aku menatap Suguha, yang masih tertidur pulas. Dia tak seharusnya melakukan ini.
Aku tiba tiba ingat kalau hal yang sama dengan ini pernah terjadi
di dunia “itu”. Suguha sangat mirip dengan gadis penjinak hewan yang
kutemui di sekitar lantai ke empatpuluh. Dia, juga, menyelinap ke
ranjangku, yang membuatku sama kelimpungannya.
Aku tersenyum sambil mengingat itu. pertemuanku dengan Asuna dan
Sogou Nobuyuki terus membuatku kepikiran, namun rasa sakit menusuk nusuk
di hatiku perlahan lenyap sejak tadi malam.
Memoriku di dunia itu – kota terapung Aincrad – adalah harta
karun penting bagiku. Memori bahagia, memori sedih – terlalu banyak
untuk dihitung – namun semua memori itu nyata, dan tak akan kuanggap
selain itu, termasuk kesepakatan diantara Asuna dan aku untuk bertemu
bersama di dunia ini sekali lagi. pasti ada sesuatu yang bisa aku
lakukan.
Saat aku tengah memikirkan itu, dari depanku, gumaman ngelindur Suguha mencapai telingaku.
“Menyerah.......itu nggak boleh.....”
“Yang kamu katakan itu sangat betul.” Aku berbisik balik.
Kemudian, sambil duduk, aku menyentil wajah Suguha dengan jariku.
“Hei, bangun, ini sudah pagi.”
“Hmmph.”
Dia mengeluarkan erangan tidak senang. Aku menyibak selimutnya dan mencubit pipinya.
“Ayo bangun, ini sudah siang.”
Suguha akhirnya membuka matanya.
“Ah. Selamat pagi, Onii-chan,” Dia bergumam, sambil dengan malas memanjat naik dari selimut.
Kemudian, dia menatapku dengan terkejut dan dengan cepat melirik
sekitar ruangan. Matanya yang nampak ngantuk dan setengah terbuka,
mendadak terbuka lebar dan pipinya tersipu merah.
“Ah! Um, aku.....”
Telinganya memerah, tubuhnya menjadi kaku, dan ia mendadak melompat dan lari dari ruangan secepat mungkin.
“Ya ampun.”
Aku menggeleng kepalaku dan berdiri untuk membuka jendela, menghirup dalam dalam udara dingin untuk membuang semua rasa lelahku.
«Berita» sampai saat aku mengambil baju ganti untuk mandi.
Terdapat nada bersuara elektronik dan aku bisa melihat peringatan
e-mail berkilat, jadi aku duduk dan bermain dengan EL Terminal.
Sejak dua tahun aku tertidur, struktur komputer telah mengalami
banyak perubahan. HDD (Hard Disk Drive) tua yang kusukai, lenyap tanpa
jejak dan digantikan dengan SSD (Solid Storage Drive) modern, yang sudah
menjadi standar baru dan tak menghasilkan MRAM ultra tinggi. Tak ada
time lag sepanjang transfer; hal itu terjadi secara spontan. E-mail yang
terkirim telah di-update, dan nama si ‘pengirim’ adalah «Egil».
Di lantai ke-50 dari blok utama Aincrad tinggallah Egil, pemilik
dari toko kelontong di ‘Algade’. Kami bertemu untuk pertamakalinya
tanggal 20 di Tokyo dan bertukar alamat e-mail, namun ini akan jadi
pertama kalinya kami saling menjalin kontak. Judul pesannya tertulis,
“LIHAT INI”. Saat aku membukanya, tak ada teks sama sekali, namun hanya
satu gambar.
Aku menggulir ke bawah dan membuka gambar pada monitor, kemudian menatap lekat lekat pada gambar yang ditampilkan.
Komposisinya luar biasa. Kalian bisa melihat dari karakteristik
warna dan cahaya yang jelas jelas bukan di dunia nyata namun dunia
ilusi, rekayasa komputer. Dalam latar belakang gambar berdiri sangkar
emas dengan meja putih dan kursi putih. Seorang gadis, berdandan dalam
gaun putih duduk di dalamnya. Melihat lebih dekat pada wajahnya melalui
sangkar—
“Asuna!?”
Gambarnya nampak kasar, namun gadis itu, dengan rambut panjang
kastanye tanpa ragu adalah Asuna, wajahnya muram dan tangannya terlipat
di atas meja. Melihat lebih dekat ada sayap transparan yang merentang di
belakangnya.
Aku menggenggam telepon di meja, dan segera menghubungi nomor
yang kutemukan dalam buku telepon. Nada deringnya mungkin hanya beberapa
detik, namun terasa bagai berjam jam. Akhirnya, sambungan terhubung dan
sebuah suara berat menjawab panggilanku.
“Hallo-“
“Hei! Apa yang terjadi dalam gambar itu!?”
“Lihat, Kirito, setidaknya kenalkan dirimu dulu.”
“Aku tak ada waktu! Lekas dan beritahu aku!”
“Ceritanya panjang. Bisakah kau datang kemari?”
“Baiklah. Aku akan disana secepatnya.”
Tanpa mau menunggu balasan, aku menutup telepon dan mengambil
pakaian ganti. Aku belum pernah mandi, mengeringkan rambut, dan
mengenakan sepatuku begitu cepat dalam hidupku, dan dalam sekejap aku
sudah meninggalkan rumah di atas sepedaku. Entah kenapa jalan ini terasa
sangat panjang, meski aku sudah melintasinya berkali kali.
Kafe Egil dan bar bisnis terletak di Taito Okachimachi. Aku
segera melihat dashboard hitam dan tanda logam yang dihiasi oleh dua
dadu, sehingga memiliki nama, «Kafe Berdadu».
Aku membuka pintu dan bertemu dengan suara gemerincing lonceng di
pintu masuk. Pria botak di counter menatapku dan tertawa. Tak ada
pelanggan kelihatan disini.
“Oh, kau cepat juga.”
“Bisnismu payah seperti biasanya. Bagaimana bisa bertahan selama dua tahun ini?”
“Saat ini memang lamban, tapi cukup ramai sepanjang malam hari.”
Percakapan santai ini membuat hatiku terasa tenang, seolah aku kembali di dunia itu.
Pertemuan kami adalah sesuatu yang terjadi di akhir bulan lalu.
Pada saat itu, aku menerima nama asli dan alamat dari para pemain
tertentu dari anggota Kementrian Dalam Negeri, Cline, Nishida, Scilica,
dan Lizbet, diantara nama nama lain. Biarpun ada banyak pemain yang
ingin kutemui lagi, namun mereka semua sudah kembali ke dunia nyata, dan
tetap menjalin kontak adalah perkara sulit. Tempat pertama yang akan
kukunjungi pastilah toko ini.
“Jadi, apa yang kau ingin aku beritahukan padamu?”
Si pemilik toko kelihatan sedikit tak senang.
Nama aslinya adalah Andrew Gilbert Mills. Aku merasa kagum karena dia ternyata juga membuka toko di dunia nyata.
Meski secara etnis dia adalah Afrika-Amerika, orang tuanya sudah
lama menyukai Jepang, dan dia membuka bar-toko kopinya disini, di
Okachimachi di usia 25 tahun. Lebih jauh lagi, dari antara para
pelanggannya, dia telah menemukan istri yang cantik dan baik hati.
Setelah itu, dia juga, telah terjebak dalam dunia SAO selama dua tahun.
Usai kembali, toko yang dia duga telah tutup sejak lama ternyata
berhasil bertahan berkat usaha keras istrinya. Sungguh cerita yang
menyentuh.
Jujur saja, terasa aneh karena tak ada satupun pelanggan disini.
Toko ini memiliki tata letak sempit, namun dengan empat kursi dan
counter, tempat yang cerah dan berwarna warni ini terasa menarik dan
merilekskan.
Aku duduk di bangku kulit, memesan secangkir kopi dan mulai mempertanyakan Egil tentang gambar itu.
“Jadi, ada apa dengan gambar itu?”
Si manajer toko tak segera menjawabnya. Justru, aku melihat dia
mengeluarkan sebuah bungkusan persegi panjang dari bawah counter, dan
mengulurkannya padaku.
Bungkusan itu jelas adalah software Game. Aku segera menyadari
itu setelah melihat cetakan jelas «Amusphere» di sudut kanan atasnya.
“Aku belum pernah dengar tentang tipe hardware ini sebelumnya.”
“«Amusphere», Ia diluncurkan saat kita masih berada di dunia itu.
itu adalah teknologi FullDive generasi berikutnya, penerus dari Nerve
Gear.”
Sambil aku melihat logo dengan perasaan keheranan, Egil memberikan penjelasan simpel.
Setelah insiden itu, Nerve Gear dianggap sebagai “mesin setan”,
sehingga tak ada pabrik bernyali melibatkan diri mereka dalam genre
teknologi Game FullDive lagi. Namun, 6 bulan setelah insiden SAO, sebuah
perusahaan baru didirikan, dengan slogan “keamanan absolut”. Ia
meluncurkan model penerus Nerve Gear, dan karena kami terjebak di
Aincrad pada saat itu, kami tak tahu apa apa soal ini.
Itu sedikit membantuku memahami situasi, namun karena aku tak
terlalu memperhatikan Game Game setelah insiden itu, aku masih tak
terlalu memahami benda ini.
“Jadi, apa ini juga VRMMO?”
Aku memegangnya di tanganku dan melihatnya dengan seksama.
Gambarnya menunjukkan hutan lebat dengan bulan purnama menggantung
tinggi, di depannya terdapat gadis dalam busana fantasi. Pedang di
tangannya, dia terbang ke langit dengan sepasang sayap transparan.
Dibawah ilustrasinya, terdapat judul -- «ALfheim Online».
“ALfheim.....Online? Apa maksudnya ini?”
“Sesuai dengan namanya, itu artinya “Rumah Elf”
[6]”
“Elf? Aku masih tak paham. Game ini tak terlalu serius, kan?”
“Itu, yah, mungkin saja. Kudengar itu cukup sulit dimainkan, sih.”
Egil meletakkan secangkir kopi yang mengepulkan uap di depanku,
sambil tertawa. Aku mengangkat cangkir, menikmati aromanya, sambil terus
bertanya padanya.
“Seperti apa kesulitannya?”
“SKILL sistem di dalamnya sangat EXTREME, dan Game berfokus pada skill pemain. PK juga dianjurkan.”
“Extreme....?”
“«Level» Tak lagi berlaku dalam Game ini. Semua skill hanya akan
meningkatkan level melalui pengulangan. Sistem Battle bergantung pada
kemampuan atletik si pemain, bukan teknik pedang seperti dalam SAO.
Namun tak peduli pada perbedaan minor ini, teknologinya tak jauh beda
dari SAO.”
“Ah. Itu terdengar cukup mengesankan.”
Aku mengeluarkan siulan kekaguman. Penciptaan Kota terapung
Aincrad telah melibatkan usaha keras dari si jenius sinting Akihiko
Kayaba. Kalau ada orang lain yang bisa menciptakan dunia VR dengan
derajat sama adalah hal yang agak sulit dipercaya.
“PK juga dianjurkan?”
“Saat membuat, pemain bisa memilih dari beragam ras fairy, dan
hanya diantara ras yang berlawanan yang membuat hal ini bisa dilakukan.”
“Itu sangat menyulitkan. Tak peduli seberapa tinggi teknologinya,
rasanya itu lebih dibuat untuk para Gamer fanatik. Aku ragu benda ini
bisa populer.” Ujarku sambil mengernyitkan alis.
Usai Egil mendengar keluhanku, dia membuang wajah seriusnya dan tersenyum.
“Aku juga pernah berpikir seperti itu, namun kurasa itu akan jadi
populer dengan para Gamer saat ini, alasan utamanya adalah di dalam
Game ini, kau punya kemampuan untuk «Terbang».”
“Terbang....?”
“Dengan sayap peri. Tak seperti game Game sebelumnya, controller
dilengkapi dengan mesin penerbangan, memungkinkan pemain untuk terbang
dengan bebas.”
Aku belum pernah memikirkan kemungkinan tentang terbang
sebelumnya. Setelah Nerve Gear dikembangkan, banyak VR Game terbang
dikembangkan, namun itu semua dikendalikan dengan kendali seperti
kendaraan. Terbang dengan cara manusia tak diperkenalkan karena pemain
tak punya pengalaman terbang dan sehingga takkan mampu mengendalikan
kekuatan saat terbang.
Dalam dunia imajinasi ini, hal hal yang pemain bisa lakukan sama
seperti yang kalian bisa lakukan di dunia nyata. Kebalikannya, hal hal
yang manusia dunia nyata tak bisa lakukan disini, mereka tak bisa
melakukannya disana juga. membentangkan sayap bukanlah tugas sulit,
namun pergerakan otot yang berkaitan dengan menggerakkan sayap tidaklah
sederhana.
Dalam SAO, Asuna dan aku memiliki kemampuan lompatan yang luar
biasa, sampai kami hampir seperti terbang, namun ini dan terbang bebas
adalah dua hal yang sangat berbeda.
“Semua konsep tentang terbang dan semacamnya ini memang hebat, tapi bagaimana dia tepatnya bisa bekerja?”
“Mana tahu, namun itu kurasa akan merepotkan. Untuk pemula, kau harus mengoperasikannya dengan controller joystick satu tangan.”
“....”
Tiba tiba, aku mendapat hasrat untuk menantang Game ini, tapi hal itu segera kubuang jauh jauh, dan aku kembali meneguk kopiku.
“Oke. Aku sudah agak paham Game macam apa ini. Kembali ke topik utama, apa hubungannya ini dengan gambar itu?”
Egil membawa sepotong kertas dari bawah counter, dan meletakkannya di depanku. Itu adalah kertas foto.
“Apa yang kau lihat?”
Setelah mendengar pertanyaannya, aku menatap gambar itu untuk sejenak, sebelum akhirnya menjawab.
“Sangat mirip.......dengan Asuna......”
“Figur yang akan kau anggap sama. Itu adalah screenshot, meski resolusinya agak jelek.”
“Lekas dan jelaskan padaku!”
“Itu Screenshot dari Game ini, ALfheim Online.”
Egil menyerahkan Game dan gambar padaku. Terdapat screenshot dari
Game, dengan tampilan dari peta dunia serta semua wilayahnya, dan di
area pusatnya terdapat sebuah pohon raksasa.
“Ini adalah Pohon Dunia, atau Yggdrasil.”
Egil menunjuk ke arah pohon.
“Tujuan para pemain adalah siapa yang paling cepat mencapai puncak dari pohon ini.”
“Lantas apa kau tidak diperbolehkan untuk terbang ke atas begitu saja?”
“Tak peduli berapa besar stamina dan daya tahan yang mereka punya
untuk terbang, tetap saja ada batasnya. Untuk mencapai cabang terendah
dari pohon itu dengan terbang saja sudah mustahil. Namun, masih ada
orang orang yang memunculkan ide ide edan, seperti membentuk kelompok
lima orang dan terbang seperti roket multi-stage yang melontarkan mereka
ke atas.”
“Hahaha, apa memang begitu? Biarpun kau menyebutnya ide edan, tetap saja itu sangat kreatif.”
“Ah, sebenarnya mereka berhasil. Namun, cabang pohon itu sangat
lemah, sehingga pencapaian mereka hanya sampai disitu saja. Untuk
membuktikan kalau mereka berhasil melakukan ini, mereka mengambil banyak
foto sebagai bukti. Salah satu dari foto itu adalah sangkar yang
menggantung di sebuah cabang pohon besar.”
“Sangkar burung........”
Kata kataku mengalir dengan perasaan yang sulit dideskripsikan,
yang membuat alisku terangkat. Terjebak.......pemikiran ini segera masuk
dalam pikiranku.
“Foto ini diambil saat mereka berhasil mencapai cabang itu.”
“Tapi kenapa Asuna ada disana?”
Aku mengambil Game lagi, dan menatap bungkusnya.
Aku berfokus pada tulisan yang tercetak di bagian bawah kotak. «RECTO Progress».
“Ada apa, Kirito? Wajahmu kelihatan pucat.”
“Bukan apa apa......tak ada gambar lain? Misalnya, «orang lain dari SAO», selain Asuna, yang belum kembali?”
Oleh pertanyaanku, si manajer hanya mengernyitkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
“Tidak, meski aku sudah dengar tentang hal itu. namun gambar
gambar dari «ALfheim Online» tak bisa digunakan untuk menjelaskan apa
apa. Jangan lekas membuat kesimpulan hanya karena ini.”
“Ya, aku tahu.”
Aku menundukkan kepalaku, memikirkan apa yang pria itu – Sugou Nobuyuki – telah katakan padaku.
Manajer dari server SAO sekarang adalah dia, ia mengatakan itu
sendiri. Ngomong ngomong, dia juga berkata kalau server itu seperti
black box, dan tak bisa dimanipulasi selamanya. Pada saat ini, semuanya
menjadi masuk akal buatku.
Namun, kalau Asuna terus tertidur, ini akan menguntungkan
baginya. Lebih jauh lagi, seorang gadis yang nampak seperti Asuna
terjebak dalam VRMMO didesain oleh tiada lain selain antek antek RECTO,
tak mungkin itu semua hanya kebetulan.
Aku berpikir untuk menghubungi Kementrian Dalam Negeri, namun aku
segera mengubah pikiranku. Kesimpulanku masih terlalu dangkal, dan aku
tak punya bukti nyata.
Aku melihat ke atas, menatap pada Egil.
“Egil, boleh aku memiliki ini?”
“Tak masalah.....kau mau mencobanya?”
“Ya, aku ingin mengkonfirmasi ini sendiri.”
Untuk pertama kalinya, Egil menunjukkan ekspresi keraguan. Kami berdua memahami betapa bahayanya VR.
Aku mengangkat bahuku, dan tertawa.
“Kurasa kalau aku ingin mencoba ini maka aku harus membeli konsol baru.”
“Nerve Gear juga bisa menjalankannya. Amusphere hanyalah versi dengan performa lebih maju.”
“Baguslah kalau begitu.”
Aku mengangkat bahu. Egil memasang senyum tipis.
“Yah, ini bukan pertamakalinya kau menyelamatkan seseorang yang terjebak dalam kesadarannya sendiri.”
“Tak masalah berapa kalipun dia terjebak atau terpenjara atau berapa kali aku harus melakukan ini.”
Dan seperti itulah. Asuna dan aku belum menjalin kontak apapun
selain melalui internet via Nerve Gear. Tiada suara atau surat yang
sudah kuterima.
Namun hari hari penantian itu berakhir sudah. Menyelesaikan
kopiku dalam satu tegukan, aku berdiri. Counter Egil nampak jadul, mirip
dengan tokonya di SAO, sama sekali tak dilengkapi mesin kasir
elektronik dan semacamnya. Aku mengeluarkan beberapa uang receh dan
meletakkannya di counter.
“Kalau begitu aku kembali dulu. Terima kasih sudah mengundangku, dan untuk informasinya.”
“Kau bisa membayar informasiku dengan cara lain. Pokoknya kau
harus selamatkan Asuna, maka kita akhirnya bisa mengakhiri semua ini.”
“Itu benar. Suatu hari, ini semua akan berakhir.”
Aku memukul telapak tanganku dengan tinjuku. Kemudian aku membuka pintu, dan pergi.
* * *
Suguha berbaring di ranjangnya, sebelum bergulung untuk mengubur
wajahnya kedalam bantal, dan menendang nendang ranjangnya selama
beberapa menit.
Saat ini tengah hari, namun dia masih mengenakan piyama. Hari ini
Senin, tanggal 20 januari, dan liburan musim dingin akhirnya selesai,
namun Suguha, di semester ketiganya di tahun ketiga SMP-nya bisa
berangkat sesuka hatinya. Untuk alasan itu, dia berangkat hanya untuk
menunjukkan wajahnya di klub kendo.
Saat ini pikirannya tengah mengulang memori itu lagi dan lagi,
dan dia sudah kehabisan menghitung entah berapa kali hal itu terulang.
Tadi malam – untuk menghangatkan tubuh beku Kazuto, dia mengubur
diri ke dalam selimut bersamanya, dan tubuh mereka lekat satu sama lain
sebelum akhirnya tertidur. Mungkin itu hanya terjadi sepuluh detik
sebelum mereka benar benar tertidur, dan tindakannya itu saat ini
membuatnya sangat menyesal.
“....Aku sungguh bodoh! Bodoh! Bodoh!” dia berteriak sejadi jadinya dengan memukul mukul bantal dengan tinjunya.
Setidaknya aku bisa bangun sebelum dia menyelinap keluar, tapi
dia malah bangun lebih dulu, bagaimana bisa aku melihatnya sekarang?
Perasaan malu dan tak nyaman bercampur dengan perasaan cinta
tersembunyinya, dan rasa sakit menusuk di dadanya menolak untuk
membiarkannya bernafas. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya,
dan tiba tiba menyadari kalau piyamanya masih membawa aroma kakaknya,
membuat desir aneh muncul di hatinya.
Yang jelas, mengayunkan shinai akan membantunya membuang semua
pikiran itu, pikirnya, sambil mengangkat kakinya. Dalam kegugupannya, ia
tak yakin apakah lebih baik mengenakan
kendogi nya, atau baju biasa, namun ia dengan cepat berganti baju dan keluar ke halaman rumah untuk berlatih.
Kazuto pergi entah kemana hari ini – dia tak tahu dimana
tepatnya, dan Ibunya, Midori, selalu pergi untuk bekerja sebelum tengah
hari. Ayahnya, Minetaka, telah kembali ke Amerika tepat setelah tahun
baru, meninggalkan Suguha sendiri di rumah. Dari tempat meja sarapan di
lantai pertama, ia menggenggam muffin keju, menjejalkannya ke dalam
mulutnya dengan cara yang sangat tak feminin, dimana tangan lainnya
mengambil sekantong jus jeruk, sebelum duduk sejenak di teras.
Tepat saat dia mengambil gigitan besar, Kazuto muncul di gerbang
pintu masuk, sambil mendorong sepedanya dan menangkap tatapan Suguha.
“Guu!!”
Sepotong muffin tersangkut di tenggorokannya, dan ia dengan mati
matian mengibaskan tangannya untuk meminum jusnya – hanya untuk
menyadari kalau sedotannya tidak ada.
“Uaah, guu---!”
“Oi oi!”
Kazuto berlari ke sisi Suguha, memegang jus dan dengan cepat
memasukkan sedotan sebelum memegangnya ke mulutnya. Mati matian mengisap
cairan dingin, ia akhirnya bisa menelan potongan makanan yang
tersangkut.
“Uah! Mati.......kali ini kukira aku akan mati!”
“Dasar gadis tak sabaran! Bukankah kamu tahu kalau kamu harus makan pelan pelan?”
“Mmm----“
Dengan malu, dia menundukkan kepalanya dan melihat kakinya.
Kazuto duduk di sampingnya, membungkuk dan mulai melepas tali sepatunya.
Dalam lingkup pandangan Suguha, ia tengah menyaksikan profil Kazuto,
sambil sekali lagi menggigit muffinnya. Pada saat itu, Kazuto tiba tiba
berbicara,
“Oh iya, Sugu, soal tadi malam.....”
Suguha mendadak tersedak, dan buru buru meneguk jusnya.
“Y-Ya?”
“Jadi um, anu.....Terima kasih.”
“Eh....?”
Mendengar kata kata tak terduga ini, Suguha hanya bisa menatap Kazuto.
“Berkat kamu, semangatku sudah pulih kembali. Aku, aku takkan
menyerah. Aku pasti akan menolongnya, dan membawanya untuk menemuimu.”
Suguha, sambil menahan sakit di hatinya, tersenyum dan menjawab. “Mm.
Ganbatte! Aku juga, ingin menemui Asuna-san.”
“Kalian berdua pasti akan cepat akrab.”
Kazuha menepuk nepuk kepala Suguha kemudian berdiri.
“Kalau begitu, sampai nanti.”
Dengan itu, Kirito mulai berlari ke lantai kedua, dan melihatnya
pergi berlalu, Suguha menelan potongan muffin terakhir ke mulutnya.
“--------Berjuanglah......untuk aku juga.....?”
Mencapai kolam di halaman rumah, Suguha memulai
suburi. Memegang shinainya, dia mulai bergerak dengan jurus yang nampak bagai tarian, dan perlahan mulai menghangatkan tubuhnya.
Di masa lalu, mengayunkan shinainya adalah semua yang ia perlukan
untuk menjernihkan pikirannya, namun hari ini entah kenapa berbeda.
Yang berada dalam pikirannya terasa mustahil untuk dihapus, dan saat ini
terpaku kuat di tempatnya.
“---------Aku menyukai Onii-chan.....tak apa apakah?”
Tadi malam, karena pemikiran semacam itu, dia sudah memutuskan
untuk menyerah. Jauh di dalam hati Onii-chan hanya ada orang itu; hal
ini sangat dia pahami, namun itu semakin membuat hatinya sakit.
“-----------Tapi.....mungkin lebih baik begini.”
Dia merasa bimbang, seperti konflik dalam dirinya, tak paham
kenapa dia begitu memikirkan Kazuto. Namun ia, sangat paham “kapan” hal
itu dimulai.
Dua bulan sebelumnya, Ibunya dihubungi oleh pihak rumah sakit,
dan dia terbang ke rumah sakit tanpa sedikitpun keraguan, untuk berada
di sisi Kazuto, mata yang basah oleh air mata dan senyum cerah
kebahagiaan. Kazuto mencapai tangannya, merespon dengan nada nostalgia.
Mulai dari saat itu, sebuah perasaan aneh mulai bersemi di hati Suguha.
Aku ingin lebih dekat dengannya, aku ingin lebih banyak berbicara
dengannya, aku ingin memeluknya dengan erat, tapi ini, tentu saja, tak
bisa kulakukan.
Hanya berada di sisinya dan melihatnya dari kejauhan juga tak
masalah, Suguha menenangkan dirinya, sambil ia mengayunkan shinainya
sekali lagi. Dia membenamkan diri dalam latihannya sampai tak sadar
berapa lama waktu sudah berlalu sampai dia berhenti untuk melihat jam,
hanya untuk mendapati kalau hari telah petang.
“Ah, aku tak boleh terus begini. Ada seseorang yang harus kutemui.”
Menghentikan ayunannya, ia meletakkan shinainya di sisi pohon
pinus terdekat, dan memungut handuk untuk mengelap keringatnya. Sambil
ia mengangkat kepalanya untuk menatap langit, langit biru nampak tipis
sepanjang awan.
* * *
Aku berjalan kembali ke kamarku, berganti baju, dan menyalakan teleponku
untuk bergetar. Aku duduk di atas ranjang dan membuka ranselku, dan
mengeluarkan Game yang Egil berikan padaku.
«ALfheim Online».
Aku belum pernah mendengar nama ini, jadi aku membaca buku petunjuknya.
Pada dasarnya, sebelum memainkan MMORPG, aku akan kumpulkan
informasi melalui sejumlah majalah dan forum, namun kali ini aku bahkan
tak ragu ragu. Aku membuka bungkus Game dan mengeluarkan ROM di
dalamnya. Aku mencolokkan router Nerve Gear kedalamnya, dan memasukkan
ROM ke dalam slotnya. Setelah beberapa detik, cahaya indikator utama
berhenti berkilat, dan berubah menjadi padat.
Duduk di sisi ranjang, aku menempatkan Nerve Gear di mataku dengan kedua tanganku.
Nerve Gear yang dulu berkilau saat ini sudah sedikit rusak, dan
catnya terkelupas disana sini. Selama dua tahun, ia terus menjadi
pemenjaraku sekaligus rekan yang selalu bisa kuandalkan.
“---------Sekali lagi, tolong pinjamkan aku kekuatanmu.”
Dengan itu dalam pikiranku, aku menaruh Nerve Gear di kepalaku
dan mengencangkan tali di dagu. Dengan bingkai dan kacamata sudah
terpasang, aku memejamkan mataku.
Kecemasan dan kegirangan membuat jantungku berdegup dengan
kencang, saat aku mencoba menurunkan detak jantungku yang menggila, aku
mengatakan ‘LINK START’!
Cahaya yang melintas di penutup mataku perlahan lenyap. Transmisi
dari saraf penglihatanku telah terpotong, dan mataku terselimuti oleh
kegelapan.
Tak lama kemudian, logo seperti pelangi muncul, dan «Nerve Gear»
tanpa bentuk secara perlahan mulai membentuk logo. Gambarnya, yang
awalnya kelihatan kabur, adalah untuk tujuan mengkonfirmasi hubungan ke
saraf penglihatanku. Pada akhirnya, sebaris teks muncul di bawah logo
untuk mengkonfirmasi kalau hubungan visual sudah OK.
Selanjutnya adalah tes suara, dan beragam suara aneh mulai
bersahut sahutan. Suara yang awalnya terdengar berantakan mulai menjadi
indah dan berubah menjadi harmoni terpadu, sebelum volumenya perlahan
mengecil dan akhirnya mati. Saat ini sempurna, sebaris teks muncul untuk
mengkonfirmasi kalau sambungan ke saraf pendengaran juga sudah OK.
Prosedur koneksi berikutnya berlanjut. Sekarang berpindah ke
perasaan sentuhan dan gravitasi, perasaan ranjangku dan bobot perlahan
lenyap. Seiring tes koneksi berlanjut dengan beragam indera, sejumlah
kata OK muncul yang mendandakan koneksi sukses. Kalau teknologi FULLDIVE
sudah meningkat, maka proses ini bisa dipersingkat secara drastis, dan
yang perlu kulakukan hanyalah menunggunya sampai selesai.
Akhirnya, OK terakhir muncul, dan tak lama kemudian membawaku
yang berada dalam kegelapan ke warna warna pelangi, ilusi dari dunia
Game. Setelah melintasi sejumlah cincin, aku telah sampai di dunia
berbeda.
---------Sebenarnya, masih terlalu awal untuk mengatakan itu.
Keluar dari kegelapan aku melihat tanda registrasi akun. LOGO utama
ALfheim Online perlahan muncul, disertai oleh suara wanita yang lembut.
Mengikuti instruksi yang diberikan, aku mulai menciptakan akun
dan karakterku. Di ketinggian dadaku terdapat keyboard virtual yang
pucat dan berkilau dan aku memasukkan User ID dan password yang
diperlukan. Aku punya pengalaman beberapa tahun sebelum memainkan SAO,
jadi proses ini sangat familiar bagiku. Karena ini adalah Game MMO yang
bisa didownload, aku normalnya perlu memilih metode pembayaran, namun
aku sudah membeli Game ini dan ia disertai oleh free trial satu bulan.
Selanjutnya aku memilih nama panggilan untuk karakterku. Aku tak terlalu banyak berpikir, dan memasukkan nama «Kirito».
Nama ini adalah bentuk kependekan dari nama asliku,
Kirigaya Kazu
to,
dan tak ada banyak orang yang tahu itu. Mereka yang tahu adalah para
tim penyelamat dari Kementrian Dalam Negeri, dan mereka yang punya
hubungan dekat denganku, misalnya presiden Recto Yuuki Shouzou dan Sugou
itu. Tentu saja termasuk Egil dan Asuna, yang masih belum bangun.
Bahkan Suguha dan orang tua kami tak tahu soal itu.
Dalam insiden SAO, tak satupun dari informasi ini yang diberitahu
pada umum, khususnya nama karakter. Ini karena di dunia itu seringkali
terjadi pertarungan antar pemain yang berdampak pada kematian mengerikan
di dunia nyata. Kalau publikasi tanpa pembatasan dari informasi ini
dibiarkan, maka tak akan sulit mendapati banyak surat pelanggaran hukum
terlampir.
Pada saat itu, kesalahan untuk pembunuhan SAO seluruhnya
ditujukan pada kepala Kayaba Akihiko, yang keberadaannya saat ini tak
diketahui. Kerabat para pemain juga terus mencekal Argus untuk kerugian
mereka, yang berdampak pada bangkrutnya perusahaan tersebut. Anggap
saja, meski yang melakukan kesalahan terbesar adalah Kayaba itu, maka
tak terhindarkan kalau arus deras pelanggaran hukum akan seluruhnya
dilimpahkan pada perusahaan.
Dengan sedikit gentar aku menyadari nama yang dikenal dengan
Sugou Nobuyuki, dan karena itu nama yang agak terkenal aku mengubahnya
dari bentuk romani menjadi bentuk kana. Gender yang kupilih, tentu saja,
laki laki.
Kemudian, suara membujukku untuk memilih karakterku. Inilah saat
pemain memilih akan seperti apa karakter mereka nanti. Banyak parameter
dipilih secara acak dan sistem tak menjelaskan bagaimana mereka
berganti. Yang menggangguku adalah biaya tambahan akan diperlukan untuk
mengubah penampilanku. Terserahlah, apa saja boleh.
Ada sembilan ras peri berbeda untuk dipilih dari saat memutuskan
peran karakterku. Tiap tiap ras memiliki kekhususan dan kelemahan
tersendiri yang bisa dijelaskan sebelum aku harus memilih. Salamander,
sylphs, dan Gnome sangatlah umum bagi RPG, namun Cait Sith dan
Leprechaun tidak terlalu.
Aku tak berniat memainkan Game ini terlalu serius, jadi apa saja
boleh bagiku. Jadi karena aku menyukai perlengkapan yang bertema gelap,
aku memilih «Spriggan» dan menekan OK.
Setelah menyempurnakan setup dasar, suara buatan mulai berdering
sambil berkata “Semoga Berhasil”, aku sekali lagi dikirim ke dalam
pusaran cahaya. Menurut suara, aku tengah dikirim ke kampung halaman
rasku, Spriggan, sebagai poin permulaan dari Game. Sensasi dari tanah
menghilang, dan digantikan oleh perasaan mengapung, kemudian dengan
perasaan jatuh ke dunia lain. Cahaya cerah menandai kepindahanku, dan
dunia baru perlahan muncul dan nampak semakin jelas. Aku jatuh ke arah
pedesaan dari jauh di atas kegelapan.
Setelah dua bulan lepas dari FULLDIVE, stimulasi ini sekali lagi
menggairahkan sarafku. Dalam cara ini, aku perlahan mendekati istana
ramping di pusat kota—
Pada saat itu.
Adegan di depan mataku mendadak membeku. Nampaknya ada cacat
muncul disini dan disana dalam bentuk poligon yang lenyap, dan suara
seperti halilintar bisa terdengar sepanjang dunia. Resolusi dari semua
objek dengan tajam mulai buyar, menjadi seperti mosaik, dan dunia ini
melebur dan runtuh bersamaan.
“A – Apa apaan ini!?”
Bahkan suara teriakanku tak bisa didengar – aku mulai terlempar
dengan kencang sekali lagi. Pada kegelapan yang sangat luas tanpa akhir,
aku turun ke tanah dalam posisi jatuh bebas.
“Harus apa aku sekarang!? AHHHHHHH!”
Teriakanku terhisap kedalam kegelapan sebelum perlahan lahan menghilang.